ANAK SEBAGAI TUMBAL PEMBANGUNAN INDONESIA



Hai para ibu yang tengah berjuang demi keluarga,

Mari kumpulkan suara untuk perbaikan pembangunan Indonesia!


Wanita dalam Pembangunan Indonesia

Jumlah wanita di Indonesia berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 menunjukkan angka potensial untuk pembangunan Indonesia yaitu mencapai 118.048.783 (49%) orang dari 237.556.363 orang penduduk Indonesia. Maka dari itu tidak heran apabila peran wanita dalam pembangunan Bangsa Indonesia sangat besar, baik sebagai agen perubahan maupun subyek pembangunan.

Selain peran pentingnya untuk negara, kaum wanita juga berperan penting dalam keluarga yaitu sebagai ibu yang akan melahirkan dan mendidik anak-anak mereka. Oleh karenanya, kualitas anak Bangsa Indonesia juga ditentukan oleh kualitas kaum wanita. Mereka harus meningkatkan kualitas pribadi masing-masing, sebab tidak akan terbentuk keluarga yang berkualitas tanpa meningkatkan kualitas wanita.

Berbicara tentang kualitas wanita, tak lepas dari pendidikan wanita yang juga merupakan aspek penting bagi pembangunan Indonesia. Selain itu, kesehatan wanita juga harus diperhatikan seiring dengan upaya peningkatan akses pendidikan. Sebab wanita Indonesia masa kini berbeda dengan wanita Indonesia masa lalu, dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Bila dulu wanita Indonesia hanya beraktivitas istilahnya di “dapur, sumur, kasur”, kini bisa disaksikan wanita Indonesia berperan hampir dalam setiap bidang pekerjaan dan profesi. Bahkan, salah seorang mantan presiden Indonesia (Ibu Megawati) dan calon presiden Amerika Serikat tahun ini (Hillary Clinton) adalah wanita. Dengan melihat adanya potensi yang besar tersebut, pemerintah telah menerbitkan Inpres No. 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, sebagai acuan memaksimalkan potensi wanita dalam pembangunan.

Pemerintah dengan bantuan swasta/BUMN melalui Corporate Social Responsibility (CSR) telah mencoba meningkatkan peran wanita dalam kehidupan sehari-hari. Mereka melaksanakan berbagai program pemberdayaan wanita, baik dalam bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, maupun yang lain. Program ini dinilai mampu membantu wanita untuk mengembangkan potensi mereka serta mendorong perubahan ekonomi dan sosial dalam masyarakat. 

Dilansir dari www.neraca.co.id, penelitian menunjukkan bahwa investasi dalam bidang pendidikan, kesehatan dan kepemimpinan bagi wanita memberikan hasil yang lebih besar dalam hal pengembangan ekonomi dan sosial, termasuk menurunnya tingkat kematian bayi dan anak, pencegahan penyakit, meningkatkan penghasilan dan produktifitas, serta pertumbuhan ekonomi yang lebih luas. Program-program pemberdayaan wanita dalam kegiatan CSR perusahaan ditujukan untuk menstimulasi pengembangan usaha wanita serta menggugah partisipasi stakeholder dalam pengembangan usaha wanita dan penanggulangan kemiskinan, meningkatkan partisipasi masyarakat kaum wanita dan dunia usaha dalam pengembangan perlindungan sosial melalui usaha dan sumber pembiayaan, meningkatkan produktivitas ekonomi wanita kelompok miskin di berbagai kegiatan untuk meningkatkan pendapatan keluarga, meningkatkan akses kelompok wanita terhadap informasi, teknologi tepat guna dan berbagai sumber pembiayaan, serta mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender melalui peningkatan produktivitas ekonomi wanita.

Tak hanya itu, dengan mempersiapkan wanita untuk berpartisipasi secara kompetitif dalam ekonomi, maka akan memungkinkan perusahaan-perusahaan mendapatkan orang-orang terbaik untuk bekerja dan berkembang tanpa membedakan gender. Peningkatan lifeskill (kecakapan) serta kompetensi (keahlian) wanita yang pada gilirannya memiliki sikap hidup, kepribadian hidup, dan kemampuan hidup yang meningkat, menjadikan wanita mitra sejajar dengan kaum laki-laki. Hal ini sudah sesuai dengan maksud Inpres No. 9/2000.

Saat kita berbicara mengenai masalah ekonomi secara tidak langsung juga berbicara mengenai wanita. Karena pada kenyataannya, wanita adalah agent of development yang berperan besar dalam perkembangan perekonomian. Bagaimana tidak? Sang pemegang kuasa keuangan di dalam keluarga pasti seorang wanita atau ibu. Meskipun pria/bapak yang bekerja mencari nafkah namun tetap seorang ibu akan mengambil alih keuangan guna mengatur pengeluaran yang terjadi dalan meluarga tersebut. Bagitu pula dengan kondisi bidang perekonomian negara, seorang ibu atau wanita dalam arti luasnya, sudah pasti bisa memegang peran dan bisa menjalankan peran tersebut dengan sebaik-baiknya. Itulah sebabnya mengapa Ibu Sri Mulyani dipercaya kembali menjadi menteri keuangan di Indonesia. Masuk akal bukan?!

Berdasarkan asumsi yang berkembang di masyarakat luas sejak zaman dahulu hingga kini adalah, dengan keberdayaan wanita di bidang ekonomi sebagai salah satu indikator meningkatnya kesejahteraan. Saat wanita berpendidikan tinggi, mempunyai hak-hak kepemilikan, dan bebas untuk bekerja di luar rumah serta mempunyai pendapatan mandiri, inilah indikator bahwa kesejahteraan rumah tangga telah meningkat. Selain itu, muncul juga asumsi lain bahwa tiap wanita harus mandiri secara ekonomi, agar memiliki kekuasaan dan posisi dalam hubungan domestik, keluarga, dan lingkungan sosial. Ini juga indikator yang sering dipakai dalam mengukur keberhasilan emansipasi wanita.

Meskipun demikian, sebenarnya kesejahteraan keluarga dan keberhasilan emansipasi wanita juga bisa dipengaruhi oleh faktor lain. Belum tentu indikator-indikator yang diasumsikan itu murni benar 100%. Bisa jadi sebaliknya, wanita yang bekerja di rumah, tidak berpendidikan tinggi namun ulet dalam bekerja, pandai mengatur pengeluaran keluarga, juga bisa menjadi faktor penentu kesejahteraan keluarga. Namun di sini saya tidak membahas hal tersebut, karena pembahasan saya menitikberatkan pada wanita yang bekerja di luar rumah seperti yang telah dibahas pada asumsi di atas.

Sudah terbukti, partisipasi wanita dalam bidang ekonomi tidak hanya untuk menurunkan tingkat kemiskinan di kalangan wanita, tetapi juga sebagai pondasi yang kokoh di sektor lain. Menteri Pemberdayaan Wanita dan Perlindungan Anak (Kabinet Indonesia Bersatu II), Linda Amalia Sari Gumelar pernah mengatakan bahwa wanita merupakan aset dan potensi luar biasa untuk mengurangi angka kemiskinan, mewujudkan pembangunan, perdamaian, dan keamanan. Jika mereka diberdayakan secara ekonomi dan intelektualitas, maka akan sangat efektif bagi pengembangan masyarakat dan bangsa. Nah, yang menjadi permasalahan selanjutnya, sudahkah negara kita tercinta ini memfasilitasi wanita sepenuhnya dalam menjalankan perannya yang kompleks tersebut? Mari kita lanjutkan pembahasan!

Antara Emansipasi dan Peran Wanita sebagai Ibu dari Anak-anak

Terlepas dari emansipasi beserta peran wanita dalam pembangunan Indonesia, pada fitrahnya wanita memang memiliki peran yang penting pula dalam keluarga, salah satunya yaitu sebagai ibu dari anak-anak mereka. Peran ini menuntut seorang wanita harus benar-benar memperhatikan kewajibannya dan hak-hak yang harus diberikan kepada anak-anaknya mulai dari sang anak dilahirkan. Tak jarang masalah kedua peran ini membuat “galau” para ibu muda, belum lagi jika muncul “nyinyiran” dari emak A, ibu B, mami C, bunda D, atau mamah-mamah muda lainnya.

Kegalauan itu akan bertambah ketika hadir buah hati titipan Tuhan dalam keluarga mereka. Para ibu baru akan mulai menimbang-nimbang antara meneruskan peran mereka dalam pembangunan Indonesia yaitu pekerjaan, menjadi ibu rumah tangga, atau menjalankan kedua peran secara bersamaan. Mengingat adanya kewajiban sebagai ibu dan hak anak yang harus diberikan, di Indonesia telah diatur dalam Undang Undang Perlindungan Anak Bab I pasal 1 No. 12 dan Bab II pasal 2.

Hak anak adalah bagian dari hak azasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara. Hak anak tersebut mencakup (1) non diskriminasi, (2) kepentingan terbaik bagi anak, (3) hak kelangsungan hidup, dan (4) perkembangan dan penghargaan terhadap pendapat anak. Dengan mengacu UU Perlindungan Anak tersebut, mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) termasuk salah satu hak azasi yang harus dipenuhi. Beberapa alasan yang menerangkan pernyataan tersebut, yaitu :

  • Setiap bayi mempunyai hak dasar atas makanan dan kesehatan terbaik untuk memenuhi tumbuh kembang optimal. Komposisi ASI disesuaikan dengan kebutuhan bayi setiap saat dan akan bervariasi tergantung usia bayi. Sehingga ada yang disebut kolostrum, ASI peralihan, dan ASI matur. Komposisi ASI juga bervariasi dari awal hingga akhir menyusui. Foremilk (ASI awal) adalah ASI yang bening, diproduksi pada awal penyusuan, banyak mengandung laktosa dan protein. Hindmilk (ASI akhir) adalah ASI yang lebih putih pekat, diproduksi pada akhir penyusuan, banyak mengandung lemak yang sangat diperlukan sebagai sumber tenaga dan pembentukan otak.
  • Setiap bayi mempunyai hak dasar atas perawatan atau interaksi psikologis terbaik untuk kebutuhan tumbuh kembang optimal. Setelah melahirkan, ibu memerlukan keterampilan khusus untuk merawat bayinya, menyusui dengan benar baik pelekatan maupun posisinya. Kegiatan ini akan menambah kedekatan emosional antara ibu dengan bayinya.
  • ASI merupakan makanan terbaik bagi bayi, karena mengandung zat gizi yang paling sesuai dengan kebutuhan bayi yang sedang dalam tahap percepatan tumbuh kembang, terutama pada 2 tahun pertama. ASI akan mencegah kekurangan nutrisi karena ASI mengandung zat-zat gizi yang dibutuhkan bayi dengan tepat, mudah dicerna oleh tubuh bayi dan melindungi bayi terhadap infeksi.
  • ASI memberikan seperangkat zat perlindungan terhadap berbagai penyakit akut dan kronis. Kandungan zat aktif dalam ASI, terutama yang bekerja untuk fungsi kekebalan tubuh adalah komponen protein (ÃŽ±-laktalbumin, ÃŽ²-laktoglobulin, kasein, enzim, faktor pertumbuhan, hormon, laktoferin, lisozim, sIgA, dan imunoglobulin lain), nitrogen non protein (ÃŽ±-amino nitrogen, keratin, kreatinin, glukosamin, asam nukleat, nukleotida, poliamin, urea, asam urat), karbohidrat (laktosa, oligosakarida, glikopeptida, faktor bifidus), lemak (vitamin larut dalam lemak - A, D, E, K-, karotenoid, asam lemak, fosfolipid, sterol dan hidrokarbon, trigliserida), vitamin yang larut dalam air (biotin, kolin, folat, inositol, niasin, asam pantotenat, riboflavin, thiamin, vitamin B12, vitamin B6, vitamin C), mineral dan ion (bikarbonat, kalsium, khlorida, sitrat, magnesium, fosfat, kalium, natrium, sulfat), trace mineral (kromium, kobalt, copper, fluorid, iodine, mangaan, molybdenum, nickel, selenium dan seng), serta sel (sel epithelial, leukosit, limfosit, makrofag, dan neutrofil). Sehingga dengan mengonsumsi ASI, dengan mendapatkan ASI, bayi mendapatkan kekebalan terhadap berbagai penyakit seperti radang paru-paru, radang telinga, diare, dan juga mengurangi risiko alergi.
  • Memberikan interaksi psikologis yang kuat antara bayi dan ibu yang merupakan kebutuhan dasar tumbuh kembang bayi. Kegiatan menyusui terutama bila dilakukan dengan skin to skin contact dapat membentuk perkembangan emosional. Karena dalam dekapan ibu selama menyusui, bayi bisa bersentuhan langsung dengan ibu sehingga ia mendapatkan kehangatan, kasih sayang dan rasa aman.
  • Ibu yang menyusui juga memperoleh manfaat menjadi lebih sehat, antara lain menjarangkan kehamilan, menurunkan risiko perdarahan pasca persalinan, anemia, kanker payudara dan indung telur. Selain itu, menyusui juga membantu tubuh ibu dalam mengontrol pendarahan setelah melahirkan. Kegiatan menyusui akan menghabiskan kalori yang cukup banyak, sehingga akan membantu diet ibu pascakehamilannya.
Setelah kita mengetahui betapa pentingnya pemberian ASI kepada bayi, dan betapa besarnya manfaat pemberian ASI untuk ibu dan bayi, kita perlu mempertanyakan kondisi lingkungan di Indonesia. Sudahkah fasilitas dan sarana untuk ibu dan bayi ini terpenuhi? Terutama untuk ibu yang bekerja di luar rumah tadi, atau untuk ibu yang sering dan sedang bepergian ke luar rumah. Jika belum, bagaimana dampak terhadap ibu dan bayinya? Kita akan menemukan jawabannya pada pembahasan berikut.

Fakta Tentang Ibu Menyusui di Indonesia

Berdasarkan data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2002 dan 2007 untuk pemberian ASI eksklusif pada bayi di bahwa usia 2 bulan menunjukkan angka yang menurun, yaitu 64% pada tahun 2002 menjadi 48,3% pada tahun 2007. Bahkan tahun 2010, angka ibu yang memberikan ASI eksklusif untuk bayi 6 bulan turun menjadi 15,3% dari yang semula 30% pada tahun 2007. Ini berarti, masih ada 84.7% ibu yang masih memberikan susu formula pada bayi sebelum usia 6 bulan atau bahkan semenjak lahir. Semoga saja fakta tahun 2010 ini sudah banyak berubah seiring semakin pesatnya laju media sosial dan komunikasi yang gencar menyerukan pentingnya pemberian ASI sehingga banyak ibu yang tersadarkan.

Selain itu, UNICEF menyatakan terdapat 30 ribu kematian bayi di Indonesia dan 10 juta kematian anak balita di dunia tiap tahun. UNICEF menyebutkan bukti ilmiah yang dikeluarkan oleh jurnal Paediatrics pada 2006. Terungkap data bahwa bayi yang diberi susu formula memiliki kemungkinan meninggal dunia pada bulan pertama kelahirannya dan peluang itu 25 kali lebih tinggi daripada bayi yang disusui oleh ibunya secara eksklusif. Sebenarnya kejadian ini bisa dicegah melalui pemberian ASI secara eksklusif selama enam bulan sejak kelahiran bayi tanpa harus memberikan makanan serta minuman tambahan kepada bayi.

Kita pasti pernah mendengar kabar banyaknya kasus kurang gizi pada anak-anak berusia di bawah 2 tahun yang sempat melanda beberapa wilayah Indonesia. Bukankah kasus kurang gizi juga sering diidentikkan dengan kemiskinan? Itu karena mereka belum mengetahui andaikata mau memberikan ASI eksklusif, sebenarnya bisa menghemat pengeluaran untuk pembelian susu formula. Mereka seharusnya menyadari bahwa kasus kurang gizi dapat diminimalisir melalui pemberian ASI secara eksklusif. Karena itu, sudah sewajarnya ASI eksklusif dijadikan prioritas program di negara berkembang ini.

Usaha pemerintah Indonesia dalam menurunkan angka kematian bayi dan mendukung pemberian ASI eksklusif terwujud dengan mengeluarkan Undang-Undang Kesehatan No. 36 tahun 2009, pasal 128 yang menekankan hak bayi untuk mendapat ASI eksklusif kecuali atas indikasi medis dan ancaman hukuman pidana bagi yang tidak mendukungnya, termasuk diantaranya para petugas kesehatan. Bab ini mengemukakan alasan medis yang dapat diterima untuk memberi susu formula pada bayi baru lahir yaitu beberapa situasi khusus dimana ASI memang tidak boleh diberikan, atau susu formula diperlukan sementara atau diperlukan tambahan susu formula disamping pemberian ASI.

UNICEF menyebutkan bahwa ketidaktahuan ibu tentang pentingnya ASI, cara menyusui dengan benar, serta pemasaran yang dilancarkan secara agresif oleh para produsen susu formula merupakan faktor penghambat terbentuknya kesadaran orang tua dalam memberikan ASI eksklusif. Ditambah lagi di Indonesia, fasilitas untuk merawat dan menyusui anak-anak terutama bagi wanita yang bekerja sangatlah kurang. Kita sama-sama mengetahui, tidak ada ruang laktasi/menyusui untuk ibu yang ingin memompa ASI ataupun ibu menyusui di tempat-tempat kerja kecuali rumah sakit. Begitu pula di tempat-tempat umum seperti terminal, bandara, pasar, tempat rekreasi, taman kota, dan sebagainya. Bukankah hal ini terlihat menyedihkan? Ruang khusus merokok dan toilet saja di dalam bus sudah tersedia, tetapi mengapa justru ruang laktasi yang notabene sangat penting bagi ibu dan anak malah tidak tersedia? Coba renungkan! Mungkin ini juga salah satu faktor yang berpengaruh pada diberikannya susu formula untuk bayi-bayi mungil tak berdosa itu. Iya, karena tidak adanya ruang laktasi sehingga para ibu merasa malu dan enggan menyusui di sembarang tempat.

Lagipula dengan diluncurkannya Undang-Undang Kesehatan No. 36 tahun 2009, pasal 128 di atas, seharusnya dibarengi dengan upaya pemerintah untuk melengkapi segala sarana dan prasarana bagi ibu-ibu yang ingin memberikan ASI ekslusif kepada bayinya dan bayi yang seharusnya mendapatkan ASI tersebut. Terutama untuk ibu-ibu yang kesulitan memberikan ASI ekslusif, dalam hal ini adalah ibu yang bekerja di luar rumah, ibu yang sedang bepergian, ibu yang tidak bisa memberikan ASI karena berbagai sebab, juga mengupayakan ASI untuk bayi yang tidak bisa mendapatkan ASI secara langsung dari ibunya, yaitu melalui ibu susuan atau ASI perah dari ibu menyusui lainnya.
Kebetulan saya menemukan video yang pas untuk menyuarakan hati para ibu bekerja, tonton sejenak yuk!

Solusi Pengasuhan Anak untuk Ibu Bekerja

Pada kenyataannya, para ibu memang masih menemui kendala di lingkungan pekerjaannya ihwal cuti bersalin dan ruang laktasi. Di lain pihak, sebagian ibu tidak mengambil cuti bersalinnya karena khawatir gaji yang diterima akan dikurangi atau kehilangan pekerjaannya selama menjalankan cuti. Cuti melahirkan di Indonesia dapat diperoleh sekitar 2 bulan saja. Bahkan ada pekerjaan tertentu yang hanya memperoleh cuti kurang dari waktu tersebut. Apalagi jika sang ibu belum ditetapkan sebagai pegawai tetap, bisa-bisa hanya 2 minggu waktu yang bisa digunakan untuk cuti melahirkan. Coba bandingkan dengan negara lain seperti UK, Croasia, dan Albania, betapa sangat singkatnya waktu cuti melahirkan di Indonesia.

Padahal World Health Assembly (WHA, Majelis Kesehatan Dunia) dan UNICEF (2001) menganjurkan menyusui eksklusif selama 6 bulan, selanjutnya setelah kembali bekerja, ibu mendapat kesempatan menyusui dengan fasilitas untuk menyusui atau memeras ASI di tempat kerjanya. Tempat kerja/perusahaan yang mendukung tenaga kerjanya untuk menyusui bayinya disebut sebagai Tempat Kerja Sayang Bayi (Mother Friendly Work Place). Hal ini dapat terwujud bila memenuhi beberapa ketentuan seperti yang tercantum pada Undang Undang Ketenagakerjaan Tahun 2003 dan peraturan-peraturan lain, antara lain:
  • Pemimpin peduli dan mendukung tenaga kerja wanita dalam pemberian ASI. Sudah menjadi tugas seorang pemimpin, harus mempedulikan kesehatan para pekerjanya. Selain jaminan kesehatan yang disediakan, penting juga membenahi segala sesuatu yang berhubungan dengan ibu–ibu sedang menyusui yang bekerja di tempatnya. Karena hal ini akan berhubungan langsung dengan kesehatan anak yang baru dilahirkan.
  • Perusahaan mempunyai kebijakan tentang izin menyusui dalam waktu kerja, penyesuaian jenis dan waktu kerja, cuti cukup, jaminan tetap kerja, upah sama. Tidak adil rasanya jika ibu-ibu harus keluar dari tempat kerjanya hanya karena dia melahirkan anak. Harus ada kebijakan tertentu yang mengatur perihal ini agar jangan sampai merugikan pihak manapun.
  • Menyediakan ruang dan sarana menyusui (termasuk lemari es). Pemimpin yang peduli kepada ibu-ibu tenaga kerja di tempatnya pasti akan mengupayakan adanya ruang khusus menyusui beserta tempat penyimpanan ASI untuk sementara selagi mereka bekerja. 
    Penyimpanan ASI Perah

    Secara kebetulan, saya juga sudah menemukan tempat untuk mewadahi suara dan keinginan para pejuang ASI yaitu dengan mendukung didirikannya booth menyusui di berbagai tempat termasuk di tempat-tempat kerja.
  • Menyediakan tempat penitipan bayi/anak yang layak. Ini poin penting selanjutnya karena banyak TPA yang tidak sesuai dengan standar pengasuhan anak. Bisa dari faktor tempatnya, perawatannya, pengasuhnya, atau jumlah anak yang dititipkan. Desain interior dan dekorasi ruang TPA yang baik dan terstandar bisa dilihat di sini. 
    Contoh desain interior TPA terstandar
  • Mempunyai petugas penanggung jawab peningkatan pemberian ASI. Sesuai dengan himbauan dari pemerintah agar bayi diberikan ASI ekslusif selama 6 bulan pertama, sudah selayaknya ada petugas yang bisa memberikan penyuluhan dan konsultasi kepada ibu-ibu untuk meningkatkan semangatnya memberi makanan terbaik bagi anak.
  • Menyelenggarakan penyuluhan dengan menggunakan media bantuan untuk lingkungan kerja, perlindungan kerja, pelayanan kesehatan, pengawasan kebersihan makanan, dan sebagainya.
Setelah mencermati peraturan berdasarkan UU Ketenagakerjaan di atas, saatnya kita bertanya,”Sudahkan tempat kerja para ibu memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut?”. Jika belum, bagaimana upaya pemerintah atau perusahaan selanjutnya untuk menjamin terpenuhinya hak azasi setiap warganya atau tenaga kerjanya? Dalam upaya peningkatan peran wanita membangun negara, jangan sampai kesehatan ibu dan anak menjadi korban. 

Anak-anak sebagai generasi penerus bangsa sudah selayaknya mendapatkan hak azasinya masing-masing. Sudah selayaknya bagi kita untuk tidak menghalangi hak anak mendapatkan ASI yang merupakan anugerah dari Tuhan sebagai makanan pokok pertamanya. Juga sudah menjadi kewajiban kita untuk menjaga mereka melalui penyediaan tempat penitipan anak yang terstandar selama ibunya bekerja, bukan asal momong anak saja. Harapan saya semoga tulisan ini bisa membuka mata pihak-pihak terkait agar memperbaiki keadaan guna memenuhi kewajiban kita terhadap sesama manusia dan negara, serta memberikan hak terhadap para ibu bekerja beserta bayi-bayi penerus generasi Indonesia.
Salam harap dari saya.... Aminnatul Widyana

Sumber referensi buku:
Marnoto, Budining Wirasatari. 2013. Buku Indonesia Menyusui. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Sanyoto, Dien dan Eveline PN. 2008. Bedah ASI. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Sumber referensi internet:





Aminnatul Widyana Mom of 2 kiddos/ Ahmad Rahman Budiman's wife/ teacher/ blogger

0 Response to "ANAK SEBAGAI TUMBAL PEMBANGUNAN INDONESIA"

Post a Comment

Terima kasih sudah singgah di blog amiwidya.com.
Saya persilakan menambahkan komentar untuk melengkapi postingan blog di atas.
Semoga bermanfaat & menginspirasi buat semua...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel