SPESIFIKASI PERBANDINGAN ANTAR BUDAYA



Makalah
Untuk memenuhi tugas mata kuliah
SosioAntropologi Pendidikan
Yang dibimbing oleh Dra.Ruminiati, M.Pd


Oleh kelompok 3
1. Rochma Arini 107151410110
2. Wirardharani P 107151410122
3. Lilik Mulyeni 107151410130
4. Ellys Nur Aini 107151410138
5. Yanik Rinawati 107151410140

















UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN KSDP S1 PGSD
November 2008
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur seraya mengucapkan Alhamdulillahi robbil’ alamin ke hadirat Allah SWT atas segala petunjuk, rahmat, hidayah, dan kesempatan sehingga penulisan makalah ini dapat terseleseikan dengan baik. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, yang telah membimbing umatnya jalan yang diridhoi Allah SWT.
Penulisan makalah ini dapat terseleseikan berkat bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1. Dra.Ruminiati, M.Si selaku dosen matakuliah SosioAntropologi Pendidikan yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan dan membentuk pola pikir penulis sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
2. Teman-teman kelas F yang senantiasa selalu memberi saran dan semangat dalam menyelesaian makalah SosioAntropologi Pendidikan ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran demi kesempurnaan pengembangan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca khususnya bagi penulis.






Malang, 8 November 2008


Penulis


DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Perbandingan Antar Kebudayaan 3
1. Masalah Antar Kebudayaan 5
B. Hubungan Antara Masyarakat dan Sekolah 5
1. Masa Perkembangan Masyarakat dan Sekolah 6
2. Kerjasama Antara Masyarakat dan Sekolah 9
C. Struktur Sistem Pendidikan Nasional 9
1. Model struktur sistem 11
2. Model alternatif 13
3. Akademic work vs productive work 18
D. Perbedaan Prestasi Antar Kebudayaan 22
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan 26
B. Saran 26
DAFTAR PUSTAKA



















BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dewasa ini banyak sekali orang yang berspekulasi bahwa budaya memiliki karakteristik yang berbeda dan memang demikian adanya.Budaya merupakan hasil dari cipta, rasa dan karsa manusia. Dimana merupakan gabungan dari dua kata budi dan daya yang terealisasi dalam dentuk cipta dan karsa manusia. Selain, kesamaan kedudayaan yang dapat dipandang sebagai akibat dari “kesatuan”psikobiologis manusia, ada kesamaan lain yang tidak terjelaskan dengan “kesatuan” tersebut. Maksud kami ialah kesamaan bentuk dan pola budaya yang cenderung bertitik temu, yakni pertumbuhan, perubahan atau perkembangan. Sebagai contoh adalah kesamaan antara masyarakat industri Jepang dan Jerman, meskipun muatan budaya kedua bangsa itu masih memperhatikan beberapa perbedaan.
Masalah utama dalam antropologi ialah menjelaskan kesamaan dan perbedaan budaya, pemeliharaan budaya maupun perubahannya dari masa ke masa. Perubahan hanya dapat diamati dengan latar belakang stabilitas atau pemeliharaan budaya. Sebaliknya, stabilitas pun hanya dapat dipahami dengan latar belakang perubahan. Andaikata budaya-bdaya tidak saling berbeda dan tidak pula berubah-ubah, niscaya tidak timbul persoalan mengenai mekanisme perubahan atau meknisme stabilitas. Akan tetapi kita saksikan budaya yang satu berbeda dengan budaya yang lain; dan, dalam berbagai taraf, budaya sungguh-sungguh berubah dari waktu ke waktu.
Hanya dengan mempelajari mekanisme, struktur, serta sarana-sarana di luar diri manusia, yakni: alat yang digunakan manusia untuk mentransformasikan dirinya sendiri, yang mana dapat kita ketahui alas an perbedaan keyakinan, nilai, perilaku, dan bentuk social antara kelompok satu dengan kelompok yang lain. Dan dalam penyelidikan ini pandangan “perbedaan dari masa ke masa” adalah bukti terbaik untuk mendukung penjelasan sosiokultural (sebagi lawan penjelasan psikobiologis) mengenai ketaksamaan manusia. Persoalan ini sering dapat kita elakkan dengan menyebut fenomen yang kita kaji sebagai fenomena
“sosiokultural” dan membiarkannya demikian. Akan tetapi kami yakin ada alas an kuat bagi antropolog untuk mempertahankan konsep culture itu dan menjaganya agar tetap dibedakan dari struktur social. Oleh karenanya pembadingan bagian-bagian yang telah diabstraksikan dari suatu keutuhan tidaklah dapat dipertahankan secara analitis.Maka dari itu disini penulis ingin memberikan pandangan kongkrit yang lebih spesifik mengenai perbandingan budaya sesuai dengan literature yang dimiliki oleh penulis.Yang penulis tampilkan dalam makalah yang berjudul “Spesifikasi Perbandingan Antar Budaya”.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Perbandingan antar Kebudayaan
a. Masalah Antar Budaya
2. Hubungan Antara Masyarakat dan Sekolah
a. Masa Perkembangan Masyarakat dan Sekolah
b. Kerjasama Antara Masyarakat dan Sekolah
3. Struktur Sistem Pendidikan Nasional
a. Model Struktur Sistem
b. Model Alternatif
c. Academic Work vs. Productive Work.
4. Perbedaan Prestasi Antar Kebudayaan
C. TUJUAN
1. Menjelaskan dan menguraikan secara gambling apa-apa yang menjadikan pembading antar kebudayaan serta masalah-masalah antar budaya yang sering tertinggal untuk dibahas dan diluruskan.
2. Menafsirkan hubungan yang terjalin antara masyarakat dan sekolah sebagai lembaga yang menaungi segala bentuk kreatifitas yang berkenaan dengan budaya.
3. Menjelaskan struktur system Pendidikan Nasional yang diasumsikan dengan karakteristik perbedaan antar kebudayaan.
4. Menguraikan perbedaan prestasi antar kebudayaan yang relatif berbeda dan juga bermanfa
BAB II
PEMBAHASAN

A. PERBANDINGAN ANTAR KEBUDAYAAN
Dalam memutuskan tentang dapat atau tidaknya fenomena kebudayaan diperbandingkan, gagasan tentang tipe strukural menjadi sangat penting. Tipe structural ialah suatu klasifikasi fenomena yang dipelajari menurut cirinya yang penting dan menentukan, selagi kita mendefinisikan cirri tersebut. Tipe structural bervariasi menurut masalah yang dikaji. Seperti telah dicatat di muka,banyak dari kerja pembandingan dalam antropologi bersifat informal dan sering tersirat,bukan tersurat secara jelas. Para antropolog yang lebih sadar diri dan lebih sistematis dalam melakukan perbandingan biasanya menjalankan dua jenis kajian, antara lain :
1. Perbandingan skala kecil dalam suatu wilayah geografis.
2. Survei lintas-budaya berskala besar yang mencakup sejumlah budaya yang tidak memiliki hubungan historis.
Dibandingkan dengan kajian lintas-budaya skala besar, ada dua keuntungan kajian lintas-budaya skala kecil, antara lain:
1. Kajian ini lebih siap mempergunakan teknik penelitian lapangan tradisional.
2. Masyarakat-masyarakat dengan teknologi sederhana di suatu kawasan geografis cenderung memiliki kemiripan structural antara yang satu dengan yang lain.
Dengan membandingkan secara teliti bentuk-bentuk fenomena social tertentu di antara bangsa-bangsa yang kita pelajari, seperti kekerabatan dan perkawinan, maka melalui proses generalisasi kita coba menentukan satu atau dua tipe dasar yang dapat menjadi induk klasifikasi.Pengertian integrasi sosiostruktural juga memantulkan sosok realitas kebudayaan yang mana kita dipaksa mempertanyakan dan meninjau kembali beberapa dari kepercayaan fundamental dalam perbandingan skala-besar di bidang antropologi.
Pengertian pendidikan menurut beberapa ahli sebagai berikut:
1. Pendidikan bukanlah merupakan fenomena yang terpisah dengan pranata lainnya, malah lagi bagi masyarakat yang bersangkutan, ke semua bidang atau peranannya bernaung di bawah satu sistem yang sama. Itulah sistem pendidikan yang sesuai diterapkan kini dan di sini. Setiap masyarakat memiliki sistem moral , agama, ekonminya sendiri dan lain sebagainya. Jadi, dengan mengadakan perbandingan dengan mengabstrakkan persamaannya, dan menghapuskan perbedaanya, tentu kita bisa menetapkan tipe umum pendidikan yang sesuai bagi tipe masyarakat apapun dan dimanapun.(Emile Durkhem)
2. Sudah tentu ada penyesuaian antara tujuan pendidikan yang ditetapkan oleh masyarakat dengan hajat yang didambakan oleh para penerima manfaat pendidikan. (Edmun Gordon)
3. Tak ada yang “tidak beres” pada sekolah sebagai lingkungan sosial, letak kesalahan di masyarakat itu sendiri (Amerika itu sendirilah yang salah). (Edgar Z. Friedenberg)
Pendidikan komparasi merupakan suatu bidang penelitian pendidikan yang dianggap sudah lama dan aktif. Bidang penelitian ini memiliki literatur luas, buku-buku teks dan journal sendiri. Akan tetapi menurut pandangan sosiolog, pendidikan komparasi ini secara konseptual dan metodologis merupakan bidang yang terbelakang.

Hubungan masyarakat secara keseluruhan dengan sistem pendidikannya.
(a) (b) (c)
Karakteristik masyarakat Karakteristik Prestasi
Atau submasyarakat sistem pendidikan belajar

Menurut salah seorang ahli sosiologi, walaupun pendidikan komparasi cepat populer, akan tetapi bidang konon masih ditandai dengan kekacauan mengatur strategi optimalnya dalam meningkatkan disiplin ilmu. Kini pendidikan komparasi tersebut telah bisa memberikan penjelasan-penjelasan konkrit tentang lembaga pendidikan di banyak negara. Penjelasan tersebut memamngluas, akan tetapi merupakan uraian sendiri-sendiri mengenai determinan dari beraneka ragam aktivitas pendidikan dan memaparkan kesulitan metodologis yang ada dalam penelitian komparatif (Lisin Stone, 1968: 11,1)
1. Masalah Antar Budaya
a. Masalah logistik dan pembiayaan
Umpamanya kita mereplikasi survei kesempatan Pendidikan di negara-negara lain. Untuk memperoleh data ekuivalen di masing-masing negara, maka harus kita keluarkan banyak biaya-anggaplah bahwa kita bisa menterjemahkan konsep tentang kualitas pendidikannya, serta masalah-masalah khusus ke dalam term masyarakat lain. Jika kita hemat dengan jalan mengurangi ukuran sampel atau lingkup instrumen pengukur, maka lebih kecil kemungkinannya kita bisa memperoleh data yang tak berat sebelah atau sebanding.
b. Hambatan utamanya ialah menentukan kesebandingan data dari satu negara ke negara yang lain. Kategori dalam klasifikasinya seringkali berlainan. Misalnya, tidak di semua negara terdapat sekolah menengah “komprehensif” berbeda-beda pengertiannya dari satu negara ke negara lainnya (Husen 2967:Vol II:287). Sistem persekolahan nasional juga tidak hanya berbeda struktur atau klasifikasi persekolahannya dan isi kurikulumnya, akan tetapi juga berbeda umur masuk sekolah dan umur minimum tamat sekolahnya dan jumlah keseluruhan populasi pada bermacam-macam tingkat.
Oleh sebab itu, supaya materi tes sebanding yang harus kita atasi jika terdapat perbedaan bahasa ialah social instruction administrasi dan prosedur pengolahan data. Coleman berpendapat bahwa:
yang amat memusingkan kepala ialah semua sumber kesalahan bersifat spesifik untuk masing-masing negara, dan oleh karenanya tak ada kemungkinan untuk randomisasi kesalahan……. Dalam suatu penelaahan, dikatakan bahwa key punching error itu refleksi karakter negara.
Dengan adanya kesulitan-kesulitan mengadakan dan menginterpretasikan studi antar kebudayaan, perbandingan antar kebudayaan merupakan satu-satunya cara yang bisa menyelesaikan prsoalan-persoalan tertentu.

B. HUBUNGAN ANTARA MASYARAKAT DAN SEKOLAH
Salah seorang ahli sosiolog pertama yang mengenal dan menjelaskan hubungan antara masyarakat dan sekolah ialah Durkheim. Sebagaimana dinyatakan pada bagian pertama bab ini, Durkheim memandang pendidikan sebagai kreasi sosial. Kreasi sosial dimaksud merupakan sarana yang digunakan masyarakat guna kelangsungan hidupnya dengan mensosialisasikan anak menurut cita masyarakat itu sendiri. Komponen-komponen pendidikan yang dengannya merupakan fakta yang sangat pasti dan sama realitanya dengtan fakta sosial lainnya saling ada kaitannya (Durkheim, 1956:94). Komponen tersebut secara intern ada kaitannya, sehingga sistem pendidikan tertentu memiliki keutuhan dan konsistensi, dan secara ekstern ada hubungannya, sehingga sistem pendidikan tersebut mencerminkan nilai moral dan intelektual suatu masyarakat.
1. Masa perkembangan masyarakat dan sekolah
a. Pada abad pertengahan di Eropa, gereja menjadi dominan, akan tetapi negara menjadi lebih penting artinya, sejalan dengan perubahan wujud dan struktur sekolah mulai dari susunan kurikulumnya hingga komposisi muridnya.
b. Masyarakat industri modern, hubungan anatara negara dan ekonomi sangat erat sekali. Dalam masyarakat sosialis komunis, seperti U S S R, Cuba, dan RRC, bukan hanya sistem ekonomi dan pendidikan yang dibawah perencanaan negara saja yang dijadikansebagai sarana pembangunan ekonomi, akan tetap juga sekolah itu sendiri. Karena itu, mahasiswa di Universitas Rusia, kebanyakan mengambil bidang studi mayor teknik dan ilmu pengetahuan alam. Di RRC banyak sekolah memiliki bengkel dan sekolah-sekolah lainnya ada yang ditempatkan di pabrik, bengkel, dan pertanian rakyat.
c. Masyarakat modern keluarga dianggap sebagai lembaga dominan, walaupun negara Belanda dan Israel menjadi teladanmasyarakat yang relatif kuat pengaruh agamanya, di Belanda baik sekolah-sekolah kristen protestan maupun sekolah-sekolah negeri mendapat bantuan keuangan dari negara. Di negara Israel para orang tua menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah agama atau sekoah non-agama yang dibiayai oleh negara.
Dua hal yang seharusnya menjadi ketetapan masyarakat antara lain: (1) mata pelajaran dan ketrampilan apa yang menjadi tuntutan untuk mengggalang asyarakat itu dan pembangunan akan datang, (2) berapa banyak murid yang dibutuhkan dan bisa ditunjang oleh ekonominya. Masyarakat yang rendah taraf pembangunan industrinya, hanya bisa mengerahkan sejumlah kecil orang kependidikan tinggi. Mengingat keadaan semacam itu, sekolah dan sistem pengujian di luar banyak berupaya untuk menemukan cara-cara menyisihkan mayoritas murid pada bermacam-macam aspek dalam sistem pendidikan dan menampung beberapa orang yang berbakat yang berhak meraih kesempatan pendidikan lebih tinggi.
Negara yang sudah maju tentunya menemukan cara-cara menyeimbangkan pertambahan murid dengan pengadaan pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Dalam suatu ekonomi yang menuntut banyaknya dan kompleksnya ketrampilan sebagaimana yang diperlukan di Amerika Serikat, investasi pendidikan mungkin memberi hasil lebih besar daripada invesatsi modal. Sebenarnya, mungkin tidak banyak memakan biaya mendidik setiap orang pada tingkat umur tertentu jika dibandingkan dengan banyaknya menginvestasi untuk peramalan dan penseleksian bakat. Masalahnya bukan lagi bagaimana mencari beberapa orang yang bisa berhasil. Masalah utamanya ialah menentukan bagaimana sebagian besar kelompok umur bisa mempelajari secara efektif ketrampilan dan mata pelajaran yang dianggap esential.
Masyarakat yang cepat mengalami perubahan atau modernisasi sosial memiliki masalah-masalah tertentu dalam menyesuaikan sistem pendidikannya dengan kebutuhan akan kemampuan manusia (human power need) di berbagai bidang kehidupannya. Bangsa yang sedang berkembang sering merasa kekurangan orang yang memiliki keahlian khusus (dibidang-bidang teknik) dan mengalami kesulitan menghimpun orang-orang yang memiliki ketrampilan yang berguna setelah mereka menamatkan pendidikannya. Sebaliknya, kepincangan lembaga tersebut yang disebabkan oleh arus deras perubahan boleh jadi suatu saat mengakibatkan adanya kelebihan orang-orang yang lebih tinggi pendidikannya. Contoh di India misalnya, merasa kekurangan tenaga ahli di bidang pertanian, teknik dan kesehatan. Namun demikian, negara tersebut kelebihan siswa yang mengambil bidang studi “umum” dan yang tak bisa bekerja sesuai dengan pendidikannya. Di India persaingan gigih untuk meraih gelar dan diploma langka yang amat menjadi tuntutan pemerintahan dan posisi kepegawaian lain, nyatanya menandakan ketidak jujuran dalam ujian yang sudah merajalela di beberapa perguruan tinggi. Mereka yang gagal mudah terpengaruh oleh propaganda gerakan politik ekstrim.
Menyoloknya pertambahan jumlah murid yang lebih besar mungkn mengakibatkan masalah-masalah adaptasi bagi murid serta masyarakat. Green dalam masalahnya dalam pendidikan yang disampaikan sebelum panitia kongres ilmu pengetahuan alam dan astronotika, mengemukakan bahwa:
Kenaikan tuntutan sosial akan pendidikan formal yang dianggap sebagai tuntutan lanjut dalam kehidupan masyarakat, memiliki dwi fungsi, karena dalam prakteknya kenaikan tuntutan tersebut selaras dengan hajat kehidupan remaja yang statusnya belum matang.
Akan tetapi dengan adanya pengembanagn sistem pendidikan nasional yang terjadi secara cepat di seluruh dunia antara tahun 1950 sampai 1970, maka bisa teratasi semua kecenderungan-kecenderungan perbedaan antara masyarakat dan sistem pendidikannya. Timbulnya kejadian ini amat nyata dan sedemikian universal sebagai “Revolusi Pendidikan Dunia”.
Meyer dan kawan-kawanya menyimpulkan bahwa sistem pendidikan nasional bukanlah ditentukan oleh faktor-faktor seperti, pembangunan ekonomi danhak otonomi, modernisasi politik dan sosial, dan kekuatan politik nasional serta tingkat keanekaragaman suku, melainkan ditentukan oleh ‘self generating process” yang didasarkan pada karakteristik demografi populasi sekolah. Karakteristik tersebut terlepas dari karakteristik ekonomi nasional, politik dan sosial. Jadi, pengembangan pendidikan selama periode ini ditandai dengan sifat-sifat dunia masa kini sebagai sistem dunia secara keseluruhan. Negara yang sangat berbeda karakteristik politik, sosial dan ekonominya menunjukkan pola perkembangan yang sama. Tingkat pengembangan yang berbeda-beda di masing-masing negara, ditandai dengan karakteristik populasi sistem pendidikan sendiri, misalnya banyaknya murid yang potensial termasuk jumlah anak-anak kelompok umur yang sesuai dengan tingkat sekolahnya dan anak-anak lulusan sekol;ah sebelumnya.



2. Kerjasama antara Masyarakat dan Sekolah
Kerjasama antara sekolah dan masyarakat paling tidak, bisa dilihat dari dua segi, yaitu :
a. Sekolah sebagai partner dari masyarakat dalam melakukan fungsi pendidikan. Mengaktifkan mental siswa di dalam mengkaji sumber-sumber belajar di lingkungan.
b. Sekolah sebagai produser, di satu pihak dengan masyarakat sebagai pemesan atau konsumen di pihak lain berarti keduanya memiliki ikatan hubungan rasional berdasarkan kebutuhan di kedua belah pihak.Tujuan pendidikan baik di tingakat tujuan instruksional, tujuan kurikuler ke semuanya harus disesuaikan secara rasional dengan persyaratan kemampuan dan kepribadian yang ideal dan praktis.

C. STRUKTUR SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
Sebagian ahli sosiologi telah mengembangkan tipologi untuk mengklasifikasikan aneka ragam sistem dan merumuskan hipotesa-hipotesa tentang hubungan antara variabel struktur dan out come. Salah satu tipologi yang pertama merupakan hasil pengembangan Turnel dalam mengadakan perbandingan antara sekolah-sekolah Amerika dan sekolah Inggris. Berangkat dari kemajuan itu lazimnya membentuk sistem persekolahan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pengaruhnya pada nilai yang terkandung dalam kontrol sosial (Turner,1968:219).Turner membedakan mobilitas dalam dua tipe, yaitu
1. sponsored of modes
sebagaimana digambarkan dalam masyarakat dan pendidikan di Inggris,tenaga elite dipilih oleh golongan elite yang sudah kokoh atau agennya,dan statusnya elite diberikan berdasarkan kenaikan berjenjang dan tidak bisa diraih dengan upaya dan strategi apapun. Tampaknya ada kemajuan dalam suatu perkumpulan tidak resmi, dimana masing-masing calon mesti mendapat dukungan dari anggota satu atau lebih(Turner,1968:219)
2. contest modes of mobility
ini diperoleh melalui bakat dan upaya individu. Menurut cita-citanya semua anggota masyarkat berkesempatan untuk berupaya meraih haknya dan tentu mereka memiliki lebih dari satu strategi. Jadi secara ideal seseorang (walaupun banyak terjadi penyimpangan dalam prakteknya) bisa memiliki aneka ragam mata pelajaran, serta berlangsung lintas kelas dan kemampuan sosial.
Berdasarkan dikotomi Turner, Hooper(1977) berpendapat struktur pendidikan tercermin pada empat hal :
1. Terjadinya seleksi pendidikan. Hopper mengklasifikasikan sisttem pendidikan menurut sentralisasi dan standarisasi proses penyeleksian secara keseluruhan.
2. Terjadinya seleksi pertama. Sistem elitis yang terjadi di prancisdan inggris sebelum terjadi pembaharuan akhir0akhir ini, ditandaidengan awalnya pembedaan dan spesialisasi. Sedangakan sistem legaliter misalnya sistem di kanada danswedia menetapkan bahwa negra berhak mendapatkan pendidikan maksimal, seleksinya harus seakhir-akhirnya, dan sejumlah kecil saja jalurpendidikanyang berbeda-beda.
3. Yang harus diseleksi menurut terminology Talcott Parsons. Hopper membedakan cara seleksi universalitis dan seleksi partikularistis yaitu luasnya sistem status “bawaan” yang dimiliki oleh masyarakat menyebabkan tak meratanya distribusi ketrampilan tertentu dan karakteristik “bawaan” (tinggi pada sistem partikularistis), dan hal ini berbeda dengan penekanan pada ketrampilan teknis dan prestasi yang diraih melalui jenjang usaha yang telah ditetapkan oleh patokan umum (tinggi pada sistam univesalitis). Kesempatan yang ada untuk mempelajari keterampilan “tingi” jauh lebih besar pada sistem universalitis jika dibandingkan sistem partikularistis (Hopper, 1977:159).
4. orang terseleksi juga musti diseleksi. Ini dikarenakan pengabsahan selaksi orang-orang tertentu bisa dilakukan atas dasar haknya orang yang terseleksi sesuai dengan keragaman ketrampilan dan sifat “bawaannya” (justifikasi aristikrasi), menurut haknya orang terseleksi berdasarkan pada upaya dan ketrampilan teknisnya yang berhasil dilakukan. (justifikasi meritokrasi), menurut kebutuhan masyarakat akan orang-orang yang memiliki ketrampilan dan karakteristik “bawaan” sehingga hal ini bisa terpenuhi oleh orang-orang yang paling sesuai (justifikasi paternalistis), menurut kebutuhan masyarakat guna mengetahui dan melatih orang-orang yang paling berambisi energetic, dan memiliki keahlian teknis (justifikasi kolektifitas).
1. Model Struktur Sistem
Salah satu penganalisisan sistematis komponen ialah model teoritis struktur intern sistem pendidikan nasonal yang didasarkan pada hasil kajian terhadap studi deskriptif pada umumnya (Livingstone,1968). Menurut Livingstone, “aktivitas” utama dalam sistem pendidikan nasional adalah :
1. pengadaan secara legal
2. penganggaran
3. pengembangan dan pembinaan staf
4. penelitian pendidikan
5. pengendalian program
6. pengadaan fasilitas pendidikan
7. pengadaan sarana pembantu
8. pengajaran
9. administasi murid.
Dengan menggunakan aktivitas-aktivitas ini sebagai komponen atau “vocal sistem” modelnya, Livingstone mengemukakan kira-kira tiga ratus hipotesis-hipotesis. Sebagaian variabel yang berfungsi sebagai kesatuan tema yang mengorganisir hipotesis-hipotesis yang dimaksud antara lain :
1. enrolmen (berapa jmlah atau proporsi baru di sekolah)
2. jumlah dan tipe program pendidikan yang ditawarkan
3. kadar sentalisasi sistem
4. banyaknya pelayanan diliar pengajaran.
Adapun hipotesis mayor yang dirumuskan pad tema-tema ini adalah sebagai berikut:
a) enrolmen pada macam-macam tingkat dalam sistem pendidikan saling ada kaitannya. Jika angka jumlah murid lebih besar pada satu tingkat, maka lebih besar pula angka jumlah murid pada tingkat lainnya.
b) jika lebih besar angka enrolmen pada suatu tingkat pendidikan, maka lebih besar pula keutamaan pengelompokan kemampuan murid dan pengajaran oleh guru-guru spesialis,lebih besar tuntutan pendidikan dan latihan-latihan formal keguruan bagi guru-guru,dan lebih banyak guru yang cakap, lebih besar jumlah guru persekolah, tetapi juga lebih besar rasio antara administrator dan guru, lebih kecil sentralisasi terutama pada kebijaksanaan program.
c) jika lebih besar sentralisasi pada suatu bidang atau aktivitas sistem maka lebih besar senteralisasi di bidang lainnya. Jika lebih besar sentralisasi pada pengawasan program, maka lebih besar kemungkinan ujian ekstern bisa menentukan masuknya atau lulusannya murid sekolah atau program lebih dini pembedaan dalam kurikulim jurusan dan lebih besar jumlah proporsi murid yang masuk dalam jenjang ketrampilan dan jenjang non akademis lainnya, lebih rendah tingkat percepatan dan lebih besar tingkat hambatan pada masing-masing tingkat, lebih besar proporsi murid sekolah menengah dan jumlah mahasiswa perguruan tinggi yang menerima bantuan keuangan,lebih besar proporsi murid asal desa.
d) jika jenjang pendidikan dasar lebih lama atau jika pembedaan ke dalam kurikulum jurusan lebih lama, maka lebih kecil proporsi keseluruhan enrolmen di tingkat sekolah dasar dan lebih besar proporsi yang ke jenjang perguruan tinggi, lebih besar rentangan dan lebih besar keseimbangan enrolmen di tingkat perguruan tinggi.
e) jika lebih besar jumlah kurikulum alternative (pilihan) yang diberikan di tingkat sekolah dan sekolah menengah, maka lebih rendah angka enrolmen dalam batas umur wajib masuk sekolah, lebih rendah proporsi murid yang masuk dalam jenjang akademis, lebih besar kemungkinannya ujian ekstern bisa menentukan masuknya atau kelulusannya dari jenjang ini.
Selain itu penelitian empiris berikutnya, seperti studi di IEA memberikan perbandingan didalam maupun diantar masyarakat. Penelitian semacam itu memperkuat pendapat Livingstone bahwa sistem pendidikan dibanyak negara secara intern tidaklah homogen atau menunjukkan kadar variasi yang sama (Livingstone,1968:7).
2. Model Alternatif
Para sosiologi dan pendidik Amerika telah menelaah tentang masyarakat-masyarakat tertentu. Penelaahan tersebut memberikan pandangan baru mengenai kerumitan masalah pendidikannya, meskipun karena berbeda-beda cara mensosialisasikan dan mendidik anak. Penelaahan tesebut mencakup masyarakat yang mudah diobsevasi dan diteliti oleh para sarjana Amerika. Penelaahan tersebut juga meliputi masyarakat-masyarakat lainnya, terutama masyarakat sosialis yang tidak bisa ditelaah secara luas oleh para sarjana barat. Para peneliti sangat tertarik dengan eksperimen alamiah yang ada di kebanyakan masyarakat karena perancangan kembali sistem pendidikannya dilakukan secara radikal dalam jangka relatif singkat.
Banyak yang harus dipelajari dari eksperimen sebagian utopia dalam pembaharuan pendidikan yang telah diterapkan di masyarakat lainnya, akan tetapi eksperimen ini sangat memperkaya informasi dan wawasan mengenai keseimbangan antar orientasi individu vs kelompok dalam belajar, masalah pandangan “academic work” dengan “productive work”, masalah ideologi dengan pengajaran moral, dan strategi untuk meningkatkan pemerataan dalam sistem pendidikan.
Orientasi individu vs orientasi kelompok diamerika serikat penekanannya pada perkembangan kepribadian dan kecerdasan individu selaku ciri-ciri sekolah dinegara Amerika sedangkan metode pengajaran dan struktur persekolahan di Rusia, Cina dan kibbutz Israel arahnya membina keterlibatan anak dalam kelompok dan masyarakat dalam keseluruhan.
Menurut laporan penelaahan Brofenbenner , proses “colective socialization”(sosialisasi bersama) mulai seja anak masuk sekolah, penekanan evaluasi nya bukanlah pada masing-masing anak melainkan pada sub kelompok murid dalam kelas.Kompetisi bukan dihilangkan malah dijadikan alat pendorong yang merupakan bagian penting pola persekolahan di Soviet. Tetapi kompetisi semacam itu hanya diterapkan pada tingkat kelompok bukan pada individu. Bahkan pada kelas pertama.

Setiap hari dicatat berbeda-beda untuk tipe tugas masing-masing regu, sehingga anak-anak bisa mengembangkan konsep keunggulan kelompok secara terus-menerus dalam melakukan macam-macam kegiatan,kebersihan diri ,kondisi buku catatan ,tingkah laku berjalan dari satu ruang ke ruang lainnya, kefasihannya pada masing-masing pelajaran dan seterusnya.dalam kegiatan-kegiatan ini banyak ditekankan bagaimana mereka berpakaian, bertindak-tanduk dan berbicara. Baju atau krahya tidak boleh terkena kotoran, sepatu harus mengkilat, murid tidak boleh melewati guru tanpa berhenti dulu untuk mengucapkan salam, tidak boleh berbicara tanpa permisi, dan lain sebagainya. Semua tabel yang ada disemua sekolah menunjukkan penampilan masing-masing regu dalam melakukan semua jenis pekerjaan serta keseluruhannya. Pertanyan yang dicantumkan pada tabel itu adalah: “ sipa yang terbaik?”, akan tetapi dimaksudkan itu bukanlah individu melainkan unit sosial regu dan kemudian “sel” organisasi pemuda komunis yang ada di tingkat sekolah dasar (Brofenner,1986:61).

Sewaktu anak mengalami pertumbuhan , mulailah ada perasingan sebagaiman lazimnya antara kelas, sekolah, daerah dan seterusnya. Sumber evaluasi berpindah dari guru ke murid itu sendiri. Bahkan pada kelas pertama anak-anak bertindak sebagai monitor beberapa kegiatan. Dalam jangka beberapa tahun kemudian mereka belajar mengevaluasi diri mereka sendiri dan teman sebayanya dan melontarkan kritik pada umum.
Studi perbandingan antar lingkungan keluarga,sekolah, dan masyarakat Rusia dan anak-anak Amerika menngulas bahwa di setiap tempat anak Unisovyet menjadi kelompok anggota bersama yang menekankan disiplin diri dan upaya demi kelompoknya dan senantiasa ada kesamaan dan keutuhan tujuan dari suatu temat ke tempat lain. Sebaliknya anak Amerika sangat bebas dengan kelompoknya.
Hal ini menimbulkan tindakan spontan dan ekspresif yang tidak ada di sekolah rusia akan tetapi juga mencerminkan terlepasnya tanggung jawab keluarga sekolah dan masyarakat atas perkembangan anak. Ini dikhawatirkan tidak adanya ideologi yang jelas dalam mendidik anak dan tidak ada keterlibatan secara nyata dari pihak kaum dewasa dalam mengarahkan anak, maka semakin banyak terjadi sosialisasi dalam kelompok teman sebayanya karena dengan ini akan mendapatkan perlindungan dari tekanan persaingan individulistis yang merupakan ciri khas sekolah Amerika . Adanya kecenderungan terhadap “affluent neglect” (kelalaian yang amat berlebihan) maka bisa diduga akan semakin meningkat sikap mengasingkan diri, sikap acuh tak acuh, permusuhan dan kekejaman dari pihak generasi muda di semua bagian masyarakat kita. Ini karena kurangnya pembinaan anak Amerika.
Menurut Brofenner, anak –anak dalam masyarakat tinggi sifat individunya dan sedikit terlibat dalam kelompok bersama, namun menurut definisi yang lainnya anak–anak tersebut sangat peka terhadap harapan-harapan dan pendapat oraang lain..
Contoh: Mc.Clelland berpendapat bahwa Amerika yang ia telaah lebih terlibat dalam kegiatan kelompok diluar sekolah dibanding anak-anak Jerman yang lazimnya melakukan kegiatan individualistis seperti jalan kaki, koleksi perangko, memainkan alat musik.(Mc Clelland), 1961:197ff).dan melalui kegiatan semacam itu anak-anak tersebut memperkuat apa yang oleh sebagian pengamat disebut dengan kepekaan yang amat tinggi terhadap pendapat orang lain.
Pandangan Brofenbenner tidak mengungkapkan bahwa anak-anak amerika kurang berorintasi terhadap kelompok, hanya saja kurang adanya perhatian dan bimbingan secara sistematis dari pihak kaum dewasa, sehingga anak sepenuhnya mencari “pengarahan kain” yaitu pada teman sekelompok umurnya dan karenanya, anak tidak berkembang komitmen yang benar terhadap masyarakatnya.
Eksperimen lain mengenai kehidupan kibbutz dan kerjasama lainnya di Israel. Eksperiman ini memadukan teori tentang mengasuh dan mendidik anak dengan teori oraganisasi ekonomi. Angka enrolment di sekolah kibbutz hanya kira-kira lima persen dari seluruh anak di negara tersebut (akan tetapi pengaruhnya secara ideologis maupun sebagai sumber pemimpin nasional) amat besar pada seluruh kekuatan negara itu ciri khas sistem pendidikan. Kibbutz yang dicatat oleh Bruno betleheim dalam kunjungannya selama seminggu ialah sebagai berikut :
a. Anak-anak diasuh terlepas dari orang tuanya dan bersama-sama dengan kelompok sebaya umurnya.
b. Semua anak memperoleh pendidikan yang sama dan persiapan sekolah yang sama
c. Pelajaran akademis dipadukan dengan pekerjaan “sebenarnya”.
d. Anak-anak secara rutin melihat orang tuanya dengan orang lain, serta anak-anak yang leih tua yang terlibat dalam pekerjaan yang bisa dimengerti dengan sendirinya dan yang tampaknya berguna bagi kehidupan masyarakat itu.
e. Sebenarnya semua anak tinggal di bangku sekolah sampai akhir, karena tidak ada alasan untuk keluar atau putus sekolah.
Jadi ringkasnya, “ pendidikan kibbutz sangat terkait sebagai bagian dari pandangan hidup masayarakat sehingga tertanam aspirasi masa depan anak dimana sebosan-bosannya mereka dengan belajar, toh mereka tak pernah merasakan terpisahnya antara laindiri mereka dengan sistem pendidikannya”(Betteleheim,1969 :50).
Kebanyakan pembahasan tentang pendidikan kibbutz banyak memberikan uraian deskriptif yang detail, namun kurang puas mengenai puasa pengumpulan data dan interpretasinya, dan interpretasinya mengenai pengaruh sistem pendidikan terhadap prestasi akademis agak bisa dengan pandangan-pandangan terdahuku mengenai pengasuhan anak dan dipengaruhi oleh kurangnya fasilitas dalam bahasa Yunani salah seorang dosen penelitian yang disusun dengan cermat. Penelaahannya secara luas mengenai permainan anak-anak menunjukkuan bahwa tindakan spontan anak-anak sekolah itu mencerminkan orientasi bersama dalam masyarakat sekitarnya. Dibandingkan dengan anak-anak dari pedesaan, anak-anak kibbutz menyukai permainan yang menuntut kerjasama untuk mencapai tujuan bersama, tapi dalam jaringan kompetisi secara keseluruhan, dan hal ini berbeda dengan permainan yang semata-mata bersifat kerjasama atau yang menekankan kompetisi individualistis (Eiferman,1969:13)
Untuk memahami jenis pendidikan yang diperoleh anak dalam kibutz, ada dua karakter umum yang perlu diperhatikan yaitu
1. meskipun cara kibbutz dalam mengasuh dan mendidik anak secara komunal (bersama) sekarang ini menunjukkan cermin sustu ideologi asal-usulnya itu, menurut Betllehim semata-mata. Cara-cara tersebut pada mulanya diterapkan secara singkat dan sedikit demi sedikit untuk membebaskan pelopor-pelopor muda dari jejek sama kecilnya diperkampungan kaum Yahudi di Eropa dan pada waktu itu juga mereka harus mempertahankan hidupnya didaratan yang masih terbelakang dan dikelilingi oleh musuh. Dengan kata lain, kemahiran-kemahiaran tertentu dalam cara yang sangat manusiawi dan efektif untuk mengasuh anak ini tidaklah timbul dari teori umum tentang perkembangan anak, akan tetapi teori dimaksud timbul secara perlahan-lahan dengan diadakannya improfisasi untukmemenuhi kebutuhan mendesak pada saat itu.
2. sistem yang menggalang persatuan dan kerjasama yang tinggi diantara semua lembaga utamanya, baru bisa terjadi konsensus bersama benar-benar ideal secara universal. Hal ini termasuk pendapat persetujuan sampai ke pelosok dari setiap orang yang dalam nasyarakatnya berhak mengatur kehidupannya sendiri dan anak-anaknya (Betrkeheim,1969:45/46).
Sistem pendidikan di Cina telah menerapkan secara extrim orientasi kelompok dan kontrol sosial pada perkembagan masing-masing anak. Laporan-laporan dari para pengunjung menyebutkan tema “mengabdilah pada rakyat” yang sudah meresap pada kurikulum sekolah dan pelajaran di kelas dan diskusi pada semua tingkat dalam sistem pendidikan (Side,1972;kessen,1975). Mengabdi kepada rakyat bisa dilakukan dalam bentuk membantu teman sekelasnya yang ketinggalan dalam melakukan pekerjaan sekolahnya, menawarkan minuman air kepada pengemudi,dan lain-lain.
Sosialisasi pada kehidupan kelompok mulai terjadi pada panti asuhan di pabrik dan sekolah taman kanak-kanak komune, anak-anak diajari saling membantu antara yang satu degan yang lain pada waktu selesai makan peserta didik untuk mencintai Cina, pemimpin Mao, karyawan petani dan militer. Belakangan ini para pengunjung yang mendatangi taman kanak-kanak Cina terkesan dengan kurangnya tingkah laku agresif dan antisosial, tidak adanya sejenis mainan, permainan dan perlengkapan lain seperti yang ada di sekolah taman kanak-kanak Amerika. Adapun kesan-kesan yang diterima oleh seorang pengunjung dari negara Amerika antar lain:
Dalam membiana anak-anak, orang-orang Cina mengharapkan tingkah laku yang baik, kerjasama dan kepatuhan dan pada umumnya berhasil. Walaupun mereka jelas tahu bahwa ada pihak yang tidak bekerjasama, menentang, dan agresif, mereka tidak menitikberatkan upayanya ke pihak tersebut. Mereka menekankan upaya pada pihak yang ingin mereka bina (Sidel 1972:188).
Perkembangan sistem pendidikan di Cina belakangan ini, asalnya dari salah satu sumber yakni : dokumen resmi yang disebarluaskan melalui media surat kabar atau penerbit asing dan kunjungan singkat pada sekolah dan masyarakat oleh para sarjana yang sedikit mengetahui bahasa, sejarah, dan kebudayaan Cina. Lagipulas Pembangunan Republik Rakyat Cina sejak wafatnya Mao telah menimbulkan perubahan selanjutnya dalam sistem pendidikan.

3. Academic work vs.Productive work
Sebagaimana diketahui, Negara Amerika Serikat baru-baru ini telah mendapat kritik sosial karena semakin memencilkan anak-anak dan pemuda dari kehidupan kerja dalam masyarakat.
Pola kerja dan belajar dari kebanyakan pemuda Israel sangat sama dengan pola yang ada pada pemuda di Amerika Serikat. Usia masuk kerja yang sesungguhnya tertunda karena perpanjangan masa pendidikan formal, dan kesempatan kerja sangat erta hubungannya dengan latar belakang kelas sosial dan jejak persekolahan (school system). Akan tetapi Israel memberikan kesempatan-kesempatan untuk memperoleh pengalaman kerja yang tidak ada di Amerika Serikat. Pada waktu menginjak masa remaja mereka semakin banyak bekerja secara rutin di ladang, gudang atau pabrik selama beberapa jam setiap sore.
Selain daripada itu, dinas militer merupakan lembaga yang khas di Israel. Murid laki-laki maupun perempuan langsung masuk menjadi anggota militer setelah tamat dari sekolah menengah atas dan sebelum diperkenankan masuk ke perguruan tinggi. Pengalaman kemiliteran ini amat penting dalam kehidupan pemuda dan pemudi Israel.
Sementara terdapat persamaan dan perbedaan yang amat mencolok antara pengalamanpemuda Israel dan Amerika, Cina menunjukkan perbedaan yang jauh lebih mencolok. Kerja produktif di Cina merupakan kegiatan inti yang sudah melekat pada semua jiwa masyarakatnya. Program kerja sebagian, belajar sebagian merupakan model untuk persekolahan. Menurut pengematan para pengunjung, pekerjaan yang dilakuakan oleh murid-murid antara lain memasang dan mengepak barang-barang mainan, membungkus permen dan makanan, melubangi komponen-komponen dan bagian-bagian electroplating saringan minyak dan memasang kabel pada bagian transistor.
Walaupun murid-murid Cina banyak kesempatannya untuk memakai energi dan idealismenya dalam kegiatan yang dikenal oleh masyarakat luas, akan tetapi pilihan karir atau bahkan tugas kerja murid bukanlah merupakan masalah pemilihan individu. Meskipun menurut laporan dari sebagian pengunjung, kelompok pemuda yang bekerja di komune pedalaman memiliki semangat jiwa keagamaan yang tulen, akan tetapi juga dilaporkan ada pemuda pelarian yang bergelandangan di sepanjang jalan Peking dan kota besar lainnyauntuk mencari penghidupan sendiri dengan jalan mencuri dan melakukan jenis kejahatan yang lain.
Amerika Serikat kebanyakan berupaya memberikan pengalaman kerja yang hanya bertujuan mengarahkan anak-anak yang sangat miskin, mengalami gangguan,atau terlibat dalam kenakalan remaja. Dalam program tersebut para remaja diberikan kekuasaan serta tanggung jawab untuk melakukan pekerjaan atau ditugaskan di tempat lain dengan maksud untuk mempermudah anak mengalami peralihan dari masaremaja ke masa dewasa. Program tersebut meliputi empat jenis kegiatan antara lain:kegiatan belajar, pengalaman kerja, field trip, dan berlibur di lingkungan Syananon. Para remaja diorganisir kedalam kelompok-kelompok yang terdiri dari kedua jenis kelamin dalam berbagai umur
Sedangkan pengajaran ideologi dan moral terlepas dari agama dan politik. Sekolah di Amerika Serikat dilarang mengadakan sembahyang atau melakukan ibadat lainnya dan buku-buku teks sosiologi yang terbit baru-baru ini kadang-kadang mengungkapkan kesulitan membina rasakemasyarakatandan tujuan yang sama.
Di sekolah-sekolah Cina dan Kibbutz Israel, pengajaran ideologi dan moral dicantumkan secara tegas dalam kurikulum sekolah. Tujuan utama pendidikan di Cina menurut Mao ialah “mencetak pekerja berpendidikan matang yang berjiwa dan berkebudayaan sosialis”. Filsafat pendidikan Mao seperti halnya Kibbutz, menekankan nilai-nilai pekerjaan tangan dan bertujuan menjembatanijurang pemisah antar petani dan buruhyang kerjanya memerlukan kecerdasan.
Baik di Cina maupun di Israel kelompok-kelompok pemuda bertugas membina pendidikan moral politik yang menjadi tuntutan penting. Pendidikan moral politik ii terlepas tapi erat hubungannya dengan sistem pendidikan formal, dan sering didasarkan pada sekolah. Pergerakan pemuda Israel yang mulai berdiri pada tahun 1930-an dan mencapai puncaknya pada tahun 1940-an, juga berorientasi politik kolektifis secara kokoh (yang sama dengan organisasi pemuda Cina akan tetapi berlainan dengan organisasi pemuda Amerika Serikat seperti halnya pandu dan4-Hukum Club). Pendidikan pertanian menjadi penekanan utama dan para lulusannya banyak mendirikan perkampungan Kibbutz dan perkampungan perintis lainnya.
Menurut salah seorang analisis, “tidak meratanya pendidikan tetap ada selagi kapitalisme masih hidup, akan tetapi lenyapnya kapitalisme bukan berarti bisa dipastikan akan timbul sistem persekolahan non-hirarkis”.diantara masyarakat multi etnis yang kooh azaz ideologinya pada paham persamaan, barangkali Israel paling inovatif dalam mengadakan penelitian dan eksperimen pendidikan. Israel berupaya mengadakan pemerataan pada taraf nasional, yang menurut Smilansky, pembaharuan di Israel melaluibeberapa tahap:
1. Tahap perintisan secara sukarela
Pada tahap ini guru, pekerja sosial, perawat dan pegawai negeri membuatprogram-program dan melakukan pengabdiandalam rangka memenuhi kebutuhan yang amat mendesak dan mengatasi keadaan darurat.
2. Tahap kesempatan formal
Tahap ini ditandai dengan langkah, badan legislatif dalam memberikan jaminan akan kesempatan yang samabagi murid-murid dari semua latar belakang etnis.
3. Tahap penyeimbangan atau pengayaan
Selama tahap ini, ditandai adanya perdebatan ilmiah yang menyerang pemaksaan keseragaman persekolahan berlandaskan pada kebudayaan dan norma-norma Barat pada semua anak, yang kemungkinan membuahkan berbagai macam program eksperimen bagi anak-anak yang lamban kemajuannya. Lazimnya pada latar etnis yang terpisah, dan belakangan ini telah dilakukan upaya menghapuskan perbedaan etnis yang formal demi terwujudnya integrasi etnis sesungguhnya dalam sekolah.
Walaupun pembahasan kita tidak membuktikan prestasi-prestasi yang dicapai Negara Israel, akantetapi perlu kita perhatikan pembaharuan-pembaharuan sebagai berikut:
1. Program yang dikembangkan oleh Carl Frankenstein untuk mendidik guru supaya mengenal dan membenahi pola pemikiran yang keliru tentang murid-murid yag lamban kemajuannya dengan analisa sistematis terhadap dialog dalam kelas.
2. Menambah pendidikan pada murid-murid yang lamban dengan memperpanjang jam sekolah, menambah masa pendidikan Cuma-Cuma dan memberikan pendidikan di tempat asrama murid-murid yang asalnya dari Asia
3. Mengadakan eksperimen dengan aneka ragam program pendidikan informal, mulai dari perkemahan musim panas sampai dengan pekerjaan kelompok remaja jalanan. Program pendidikan ini menekankan hak otonomi, dan rasa saling menghormati, dan didasarkan pada struktur simetris hubungan antar perorangan yang berlainan dengan struktur hirarkis situasi dalam kelas formal.
4. program pengajaran di rumah bagi anak-anak pra sekolah. Program ini dikembangkan oleh Avina Lombard. Dalam program inipara pemudi tak berprofesi dari keluarga yang rendah incomenya didik untukmenggunakan bahan kurikulum yang diprogramkan secara cermat untuk mengejar ibu-ibu rumah tangga. Oleh ibu-ibu rumah tangga bahan tersebut kemudian digunakan untuk mengajar anak-anak mereka sendiri.
Penelitian di Israel menunjukkan hasil yang sangat positif, misalnya menyelidiki secara terpisah maupun keseluruhan pengaruh-pengaruh integrasi etnis di tingkat kelas, dan pendekatan pengajaran yang berorientasi pada pembaharuan model kelas terbuka di Inggris. Walaupun proyek ini masih berjalan, akan tetapi analisa data yang telah diselesaikan menunjukkan bahwa anak-anak dari kelas sosial yang lebih rendah yang berada dalam kelas yang tak mengenal perbedaan golongan dan telah diadakan pembaharuan nyatanya, lebih baik prestasinya daripada anak-anak yang berada dalam kelas yang masih mengenal perbedaan golongan. Namun Israel sama saja dengan negara-negara lain, masih belum bisa mencapai pemerataan pendidikan dalam skala nasional.
Hasil survey yang dilaporkan oleh Minkovich, Davis dan Bashi menunjukkan banyak perbedaan sumber daya pendidikan dan prestasi akademis karena status etnis dan kelas sosial, dan “generasi di Israel” (yaitu anak-anak yang orang tuanya lahir di Israel cenderung lebih unggul pendidikannya daripada anak-anak yang orang tuanya migran, tak peduli berasal dari suku apapun). Semakin rendah status murid Asia-Afrika, semakin besar kemungkinannya anak tersebut berada dalam kelas yang sedikit murid-murid dari latar belakang Eropa, dan murid-murid dari latar belakang Eropa relatif lebih rendah SSEnya. Sebaliknya, semakin tinggi SSEnya murid Azkenazi, semakin besar kemungkinannya dia berada dalam kelas yang sedikit murid-murid Asia-Afrika, dan murid Asia-Afrika tersebut relatif tinggi SSEnya.
Sukar kita bandingkan prestasi pada sekolah-sekolah Arab dan prestasi pada sekolah-sekolah Yahudi karena perbedaan kurikulumnya, struktur sistem sekolahanya dan prosedur testingnya, akan tetapi data itu menunjukkan bahwa rata-rata tingkat prestasi di sekolah-sekolah Yahudi secara keeluruhan, walaupun tingkat prestasi agak lebih tinggi daripada rata-rata tingkat prestasi yang dicapai oleh murid-murid Asia-Afrika.

D. PERBEDAAN PRESTASI ANTAR KEBUDAYAAN
Studi tentang aneka ragam sosialisasi dan pola-pola pendidikan antar kebudayaan itu sendiri amat menarik , namun tujuan utama kita adalah menentukan apakah perbedaan masyarakat dan system pendidikannya memiliki pengaruh kuat pada tingkat prestasi pendidikan. Yang kita jadikan sumber informasi terbaik mengenai topic tersebut ialah penelaahan-penelaahan yang diadakan pada internasional Project for the Evaluation of Educational Achievement (yang kemudian disebut IEA), yang merupakan usaha internasional secara besar-besaran unuk menilai produktivitas system pendidikan Negara-negara peserta dan menelaah perbedaan-perbedaan karakteristik murid, karakteristik sekolah, dan pendekatan - pendekatan pengajaran yang ada kaitannya dengan perbedaan prestasi, baik di dalam maupun diantara negara-negara.
Tahap pertama IEA menelaah prestasi pelajaran matematika di 12 negara berdasarkan pada sample 132.775 murid (antara 2500 dan 3800 murid di masing-masing negara) da hampir 19.000 guru pada lebih 5000 sekolah. Hasil penelaahan tersebut diterbitkan dalam dua jilid. Jilid pertama menjelaskan desaign dan administrasi survei, sedangkan jilid kedua menyajikan hail-hasilnya. Matematika dipilih sebagai bidang pokok pertama yang diselidiki, karena lebih sedikit masalah-masalah pengukurannya jika dibandingkan denga sejarah atau kesusastraan.
Tujuan awalnya adalah memberikan tes pada masa penting yang menentukan dalam karir sekolah anak,yaitu: (1) masa akhir di mana semua kelompok usia sekolah masih bersekolah ( umur 13), dan (2) masa sebelum masuk perguruan tinggi.Yang menjadi masalahnya ialah anak-anak umur tiga belas tahun tidak mesti berada pada tingkat atau jenjang pendidikan yang sama, walaupun anak-anak tersebut masih bersekolah. Masalah Pembuatan tes terbentur oleh perbedaan bahasa dan kebudayaan di antara negara-negara peserta.
Studi tersebut menunjukkan banyak variasi umur masuk sekolah dan umur tamat sekolah. Umur rata-rata masuk sekolah adalah enam dan Negara-negara yang termasuk kategori ini menunjukkan rata-rata skor tes lebih tinggi pada umur tiga belas dibandingkan dengan umur masuk sekolah lima tahun.
Karakteristik system ketiga yang berkolerasi dengan prestasi adalah retentifitas atau proporsi kelompok umur yang masih sekolah pada masa terminal. Pertanyaan umum yang timbul disini adalah apakah “lebih banyak berarti lebih buruk” dari segi akademis, yaitu apakah sistem pendidikan yang mempertahankan proporsi murid yang besar hingga pada tingkat yang relatif tinggi akan mengorbankan tercapainya mutu pendidikan secara keseluruhan?
Karakteristik sisitem persekolahan yang digunakan sebagai variasi bebas ialah spesialisasi, yaitu murid memasuki sekolah yang menjuruskan pada satu bidang studi (yang bercorak akademi, kejuruan, atau umum), atau sekolah comprehensive yang memberikan aneka ragam mata pelajaran. Dari perbandingan secara luas tentang berbagai tipe sekolah di dalam atau di antara negara-negara disimpulkan bahwa keuntungan jawab yang diperoleh murid-murid yang ada di sekolah kejuruan melebihi murid-murid yang ada di sekolah comprehensive, pada umumnya teratasi pada masa sebelumnya masuk perguruan tinggi. Kehadiran murid-murid yang lebih rendah kemampuannya atau murid-murid yang mengambil bidang studi kejuruan atau umum tidak dengan sendirinya berpengaruh negatif pada mereka yang melanjutkan ke perguruan tinggi. Begitu pula , murid-murid yang menempuh jenjang nonakademis di sekolah comprehensive tampaknya agak lebih baik hasilnya dibandingkan dengan murid-murid yang mengambil mata pelajaran yang sama di sekolah yang berbeda.
Pengaruhnya pada prestasi dari dua karakteristik murid yang sifatnya individu umumnya lebih jelas daripada pengaruh sifat struktur persekolahan. Salah satunya karakteristik individu ialah latar belakang sosio-ekonomi. Analisa regresi yang bertujuan menilai kontribusi relatif dari variabel-varibel bebas yang berbeda-beda pada perbedaan skor tes, menunjukkan bahwa latar belakang keluarga menyebabkan paling banyak terjadi perbedaan.
Studi tersebut mereplikasi mengenai pengaruh jenis kelamin. Pada setiap tingkat di kebanyakan negara, murid laki-laki lebih tertarik dengan pelajaran matematika daripada murid perempuan, dan hasilnya melebihi murid perempuan. Akan tetapi di Prancis dan Inggris murid-murid perempuan yang mendalami bidang studi matematika lebih tinggi skor minatnya daripada murid laki-laki. Hal ini mungkin karena murid-murid perempuan ini diseleksi begitu ketat (hampir enam murid laki-laki untuk setiap satu murid perempuan) sehingga anak perempuan tersebut yang diterima untuk mendalami bidang studi matematika sudah barang tentu termasuk murid yang paling besar motivasinya. Jadi prestasi dalam pelajaran matematika pada tingkat nasional pada kaitannya dengan sikap terhadap belajar.
Dalam semua mata pelajaran, perbedaan rata-rata skor tes di antara masyarakat maju yang relatif kaya dan masyarakat sedang berkembang yang miskin sangat besar sekali. Hipotesa yang menjelaskan prestasi buruk atau rendah dari negara-negara miskin secara meyakinkan dipertegas oleh buruknya lingkungan anak baik di dalam maupun di luar sekolah, walaupun perbedaan-perbedaan prestasi mungkin juga karena kurang sesuainya tes bagi anak-anak dalam masyarakat tersebut. Negara-negar miskin itu tidak hanya kurang pembiayaannya untuk pendidikan, akan tetapi juga banyak yang mengalami hambatan perkembangan enrolmennya pada masa akhir-akhir ini.
Pada hasil lain yang ditunjukkan oleh EIA juga membuktikan bahwa pengaruh kecil kualitas sekolah yang ada kaitannya dengan pengaruh sampingan latar belakang keluarga. Kesimpulan Colmen yang menyatakan bahwa sumberdaya di sekolah sedikit atau sama sekali tidak membantu akan tercapainya prestasi akademis mungkin sesuai bagi masyarakat dimana semua atau semua sekolah memiliki cukup buku-buku teks bahan tulis, cukup ruangan menmpung murid-murid yang memadahi guru-guru yang terlatih.
Akan tetapi masyarakat masih di tingkat minimum kesejahteraan ekonominya, maka tampaknya mungkin kekurangan sumber daya di sekolah, yang dengan sendirinya mencerminkan kemiskinan sumberdaya dalam masyarakat secara luas, menyebabkan murid-murid ketinggalan dalam mengadakan kompetisi dengan murd-murid dari negara-negara yang lebih maju (in kelas, 1977; 167). Begitu pula, walaupun data IEA betul-betul menunjukkan hubungan latar belakmang keluarga dengan prestasi akademis, namun begitu jumlah varience score test yang ditentukan oleh faktor-faktor keluarga sangat berbeda-beda dari satu negara ke negara lain.
Masalah umumnya ialah, bahwa hipotesa menjelaskan prestasi spada sekolah di Amerika- atau sekolah dalam suatu masyarakat tidak bisa digeneralisasikan kepada masyarakat lain, dan perbandingan antar kebudayaan merupakan cara yang paling tepat untuk membenahi generalisasi yang keliru serta otnosentrisme penelitian.








BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari skema pembahasan yang berkenaan dengan kebudayaan hal-hal yang dapat penulis simpulkan dalam pemabahasan kali ini adalah :
Perbandingan antar kebudayan sering kali dikaitkan dengan tipe struktural dimana tipe struktural tersebut diartikan sebagai, suatu klasifikasi fenmena yang dipelajari menurut cirinya yang penting dan menentukan, selagi kita mendefinisikan ciri tersebut. Sedangkan hubungan antara Masyarakat dan Sekolah seperti apa yang telah dijelaskan oleh Durkheim, bahwa pendidikan merupakan suatu kreasi dimana sarana yang digunakan masyarakat guna kelangsungan hidupnya dengan mensosialisasikan anak menurut crita masyarakat itu sendiri.
Masyarakat cepat mengalami perubahan atau modernisasi sosial yang memiliki masalah-masalah tertentu dalam menyesuaikan sistem pendidikannya dengankebutuhan akan kemampuan manusia. Dalam struktur sistem pendidikan nasional dijelaskan menurut Hopper, klasifikasi sifat struktur sisitem pendidikan ada 4 spesifikasi antara lain: (1) menurut sentralisasi dan standarisasi proses penseleksi secara keseluruhan. (2) waktu dari sentralisasi dan standarisasi proses. (3) orang yang bersangkutan sebagai penseleksi dan (4) alasan yang menjadi dasar pertimbangan diadakannya seleksi.

B. SARAN
Adapun saran yang dapat penulis kembangkan disini adalah mengenai perbedaan itu sendiri. Seberapa besar bentuk perbedaan dan perbandingan dalam unsur kebudayaan tersebut itu merupakan catatan tersendiri bagi terwujudnya sebuah karakteristik dari suatu kebudayaan yang beragam.Dengan kata lain tidaklah patut kita mempersoalkan sebarapa besar perbedaan namun, sebarapa besar kita bisa mengahargai perbedaan itu dan mengambil segi positif di daamnya sebagai wawasan ke depan.


DAFTAR PUSTAKA

Manners, Robert A. 2002 . Teori Budaya . Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Purwanto, M. Ngalim . 1997 . Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis . Bandung :
PT. Rosdakarya
BAB XI Perbandingan Antar Kebudayaan


























Daftar Pertanyaan beserta jawabannya

Pertanyaan
a. Apakah yang dimaksud dengan sekolah sebagai partner dan sekolah sebagai produser? Dan bagaimanakah keterkaitannya? Kerjasama antara sekolah dan masyarakat paling tidak, bisa dilihat dari dua segi, yaitu sekolah sebagai partner dan sekolah sebagai produser. Sekolah sebagai partner dari masyarakat, bahwa sekolah dalam melakukan fungsinya sebagai lembaga formal yang mengajarkan pendidikan, mengaktifkan mental siswa di dalam mengkaji sumber-sumber belajar di lingkungannya. Sedangkan sekolah sebagai produser, di satu pihak dengan masyarakat sebagai pemesan atau konsumen di ihak lain berarti keduanya memiliki ikatan hubungan rasional berdasarkan kebutuhan di kedua belah pihak. Tujuan pendidikan baik di tingkat tujuan instruksional, tujuan kurikuler dan ke semuanya harus disesuaikan secara rasional dengan persyaratan kemampuan dan kepribadian yang ideal dan praktis.
b. Apakah masalah pendidikan bukan merupakan fenomena yang berkaitan dengan masalah logistik?
Masalah pendidikan berkaitan dengan berbagai bidang kehidupan, termasuk masalah logistik. Misalnya untuk memperoleh data ekuivalen di masing-masing negara, maka kita harus mengeluarkan banyak biaya. Pendidikan bukan masalah baru yang kita kenal saat ini sehingga sedikit banyak seseorang memikirkan masalah tersebut guna kemajuan generasi selanjutnya. Namun, secara langsung pendidikan memang tidak bersangkutan langsung dengan masalah logistik tapi, secara terencana pendidikan secara tidak langsung membutuhkan logistik pendidikan yang sangat bervariasi sesuai dengan kepentingan sekolah waktu itu.
c. Tolong jelaskan tipe-tipe dari sponsored of made dan contest mode of mobility! Yang dimakasud dengan Sponsored of mode dan Contest mode of mobility antara lain :
Sponsored of mode adalah tenaga elite yang statusnya diberikan berdasarkan kenaikan berjenjang dan tida bisa diraih dengan upaya dan strategi apapun. Sedangkan Contest mode of mobility adalah status yang diperoleh melalui bakat dan upaya individu. Di sini kita mengambil contoh-contoh sekolah di Amerika. Hal ini untuk control siswa dalam memilih tenaga-tenaga elite.
d. Menurut Meyer, politik,ekonomi, dan social tidak begitu berpengaruh terhadap sistem pendidikan nasional. Bagaimanakah menurut kelompok anda dengn pernyataan ini?
Meyer mengemukakan hal tersebut karena menurut dia sistem pendidikan itu lebih ditentukan oleh ”self generating process” yang didasarkan pada karakteristik demografi populasi sekolah. Namun, menurut kelompok kami sistem pendidikan tidak bisa terlepas kaitannya dengan sistem politik,ekonomi dan sosial, yang berarti segala aspek kehidupan yang bekenaan dengan masalah pendidikan tidak terlepas dari unsur-unsur bidang yang telah terorganisir secara sistematis dalam masyarakat.
e. Apakah yang dimaksud ”kreasi sosial” menurut Durkheim?
Kreasi sosial merupakan sarana yang digunakan masyarakat guna kelangsungan hidupnya dengan mensosialisasikan anak menurut cita masyarakat itu sendiri. Hal ini berkaitan dengan inovasi-inovasi, sehingga anak bisa mensosialisasikan ketrampilannya kepada masyarakat. Dimana sosialisasi itu terbentuk jika seorang mendapat kesempatan yang benar-benar diperlukan dalam dalam masyarakat sehingga ia mengaplikasikannya dengan tujuan yang jelas yaitu demi kelangsungan perkembangan kreativitas dalam masyarakat dan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus berubah-ubah.
f. Sebutkan contoh cita-cita masyarakat yang berkaitan dengan kreasi sosial! Cita-cita masyarakat terkembang karena adanya keinginan yang terus barvariasi dari sebuah komunitas masyarakat. Sedangkan contoh dari pada cita-cita atau keinginan itu seperti yang kita ketahui sekarang sulit sekali terwujud, semisal dari contoh yang sederhana saja, yaitu untuk membuat kue seseorang harus bersusah payah mencari bahan bakar yang sangat langkah saat ini. Sedangkan kebutuhan harus secepatnya terpenuhi oleh karena itu butuh langkah baru yang inovatif guna menyelesaikan permasalahan tersebut dan ternyata realisasi usaha lewat oven yang menggunakan tenaga panas matahari berjalan dengan efektif sebagai langkah efektif menyelesaikan permasalahan tersebut.
Aminnatul Widyana Mom of 2 kiddos/ Ahmad Rahman Budiman's wife/ teacher/ blogger

0 Response to " "

Post a Comment

Terima kasih sudah singgah di blog amiwidya.com.
Saya persilakan menambahkan komentar untuk melengkapi postingan blog di atas.
Semoga bermanfaat & menginspirasi buat semua...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel