BEBERAPA KONTRIBUSI SOSIOLOGI DALAM PENDIDIKAN

BEBERAPA KONTRIBUSI SOSIOLOGI
DALAM PENDIDIKAN



Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Lingkungan Hidup yang dibina Dr. Ruminiati M.Si


Oleh:
Elly Rahmawati (107151410108)
Siti Musyarofah (107151410117)
Fransiska Paramita K.D (107151410125)
Nanda Diajeng P. (107151410135)
Ratna Sari Dewi (107151410140)













UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTA ILMU PENDIDIKAN
KEPENDIDIKAN SEKOLAH DASAR DAN PRASEKOLAH/ S1 PGSD
November 2008
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan tugas membuat makalah ini.
Makalah yang berjudul “Beberapa Kontribusi Sosiologis dalam Dunia Pendidikan” kami susun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Sosio Antropologi .
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Ibu Dr. Ruminiati, M.Si selaku dosen pembimbing Mata Kuliah Sosioantropologi, dan kapada semua pihak yang telah membantu menyiapkan, memberikan masukan, dan menyusun makalah ini.
Segala upaya telah kami lakukan untuk menyempurnakan makalah ini, namun tidak menutup kemungkinan dalam makalah ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan dan kritik yang dapat dijadikkan masukan dalam menyempurnakan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat tidak hanya untuk kami, tetapi juga untuk semua pembaca.


Malang, November 2008

Penyusun






DAFTAR ISI

Halaman Judul ………………………………………………… .........i
Kata Pengantar ……………………………………………………….ii
Daftar Isi …………………………………………………………… iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang ……………………………………………………1
B. Rumusan Masalah ………………………………………………. 2
C. Tujuan Penulisan ……………………………………………… ...2
BAB II PEMBAHASAN
A. Sistem Persekolahan Sebagai Sistem Organisasi Formal….….… 3
B. Kegiatan Kelas Sebagai Suatu Sistem Sosial ....…………………. 6
C. Lingkungan Eksternal Persekolahan …………………………….. 6
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………………. 13
B. Saran ………………………………………………………….. .13
Daftar Pustaka …………………………………………………… 14









BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kontribusi sosiologi pada dunia pendidikan menyajikan semacam ancar-ancar bagi praktisi pendidikan, yaitu mengenai beberapa kontribusi spesifik dari analisis sosiologis terhadap bidang pendidikan. Fokus bahasan ini memang pada suatu perangkat subtantif kontribusi sosiologis yang dari padanya para praktisi seperti guru, penilik, kepala sekolah atau pengawas dapat mengambil manfaatnya secara realistis dan efektif di dalam lingkungan pekerjaannya masing-masing.
Untuk menggambarkan kontribusi praktis sosiologi terhadap bidang pendidikan ternyata ada banyak pendekatan yang mungkin lazim dipergunakan. Macam-macam pendekatan dimaksud itu dipakai juga sesuai dengan arahan bahasan ini. Kontribusi-kontribusi spesifik dari sosiologi terhadap bidang pendidikan tertuang dalam tigas sub judul. Ketiganya bertolak dari sorotan sosiologis dalam menelaah persekolahan sebagai suatu sistem sosial fungsional.
Pada sub judul pertama, melihat hubungan-hubungan dalam dunia pendidikan sebahgai suatu yang berlangsung dalam konteks latar suatu organisasi formal. Dalam hal ini, para murid, guru, supervisor, kepala sekolah dan pengawas berinteraksi selaku pemegang posisi di dalam suatu sistem sosial yang mempunyai tujuan kelmbagaan dan terorganisir, yaitu untuk mendidik para anak didik.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka macam-macam tugas dalam tat organisasi persekolahan harus ditangani, terkoordinasi dan terbadu. Dalam penyelenggaraan pendidikan terdapat sejumlah orang dengan pembagian kerja yang rumit (complicated). Ini memerlukan arus jaringan kerja (network) dari sejumlah peranan yang saling berhubungan dalam lingkungan organisasi persekolahan.
Pada sub judul kedua, tinjauannya berangkat dari fakta bahwa tugas pokok persekolahan (transaksi pendidikan) terutama berlangsung pada sistem sosial yang reklatif kecil, yaitu di ruang kelas. Sedangkan pada sub judul ketiga, tinjauaannya bertolak dari realitas dimana sistem persekolahan tidak pernah terlepas dari lingkungan luarnya. Seperti pada semua organisasi, ia dipengaruhi pula oleh kekuatan-kekuatan eksternalnya. Ketiga tinjauan tersebut diajukan sebagai ancar-ancar untuk menunjukkan beberapa kontribusi sosiologi bagi para praktisi di dunia pendidikan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, terdapat beberapa rumusan masalah yang dipaparkan, antara lain:
1. Mengapa sistem persekolahan sebagai suatu organisasi formal?
2. Bagaimana kegiatan kelas sebagai suatu sistem sosial?
3. Apa saja yang mempengaruhi lingkungan eksternal persekolahan?

C. Tujuan Penulisan
Terdapat beberapa tujuan dalam penulisan makalah ini, antara lain:
1. Mendeskripsikan sistem persekolahan sebagai suatu sistem organisasi formal?
2. Mendeskripsikan kegiatan kelas sebagai suatu sistem sosial?
3. Mendeskripsikan lingkungan eksternal persekolahan?










BAB II
PEMBAHASAN

A. Sistem Persekolahan Sebagai Sistem Organisasi Formal
Sekolah sebagai suatu sistem, menurut sudut tinjauan sosiologi, juga memiliki banyak karakteristik umum sebagaimana pada jenis-jenis organisasi lainnya yang berskala luas. Dua diantara karakteristik tersebut, kiranya relevan dengan maksud bahasan ini. Pertama, sistem persekolahan, sebagaimana organisasi-organisasi bisnis dan rumah sakit, jelas mempunyai suatu tujuan organisasi. Tujuan itulah yang menjadi arah dan mengarahkan sistem sosial bersangkutan. Kedua, dalam organisasi persekolahan terdapat suatu arus jaringan kerja dari sejumlah posisi yang saling terkait (seperti guru, supervisor, dan administrator) di dalam rangka mencapai tujuan organisasi.
Berdasarkan “model organisasi” dapat dikatakan bahwa tugas persekolahan itu adalah untuk memberikan pengetahuan dan ketrampilan kepada anak didik, dan karena itulah para guru diperkerjakan. Dalam hubungan ini, para supervisor berfungsi membina para guru supaya dapat bertugas secara efektif, dan tugas formal para administrator sekolah adalah untuk mengkoordinasikan dan memadukan berbagai ragam aktivitas dalam lingkungan sistem persekolahan. Para pemegang posisi mempunyai hak dan kewajiban tertentu dalam hubungannya dengan para pemegang posisi lain di dalam sistem interaksi mereka. Sejalan dengan bahasan mengenai aspek struktur organisasi persekolahan tersebut, secara implisit, sepertinya ada dua asumsi yang sebenarnya masih patut dipertanyakan. Pertama, bahwa ada kesamaan pandangan atau pendapat mengenai tujuan organisasi persekolahan. Kedua, bahwa ada dua kesamaan pandangan atau pendapat mengenai hak dan kewajiban masing-masing di dalam tata hubungan antar posisi/fungsi. Sehubungan dengan kedua asumsi tersebut, analisis sosiologis tidak begitu saja meyakininya, bahkan menyarankan untuk ditelaah benar tidaknya. Sebab dalam kenyataan, dapat saja begitu tipisnya kesepakatan para pemegang posisi mengenai tujuan organisasi sekolah, dan juga mengenai batasan perannya masing-masing. Padahal faktor tersebut merupakan elemen pokok untuk dapat berfungsi dengan baik atau tidaknya sistem persekolahan.
Organisasi formal sistem persekolahan, sebenrnya kabur tujuan dan cenderung membingungkan. Hal ini bertolak dari suatu perbandingan dengan tipe-tipe organisasi formal lainnya, misalnya perusahaan yang bergerak di bidang bisnis ekonomi. Pada perusahaan bisnis, selaku organisasi formal, tujuannya sangat jelas dan tidak membingungkan, yaitu memproduksi barang atau jasa guna mendapatkan keuntunagan. Serikat buruh mungkin saja ‘bertengkar’ dengan pemilik perusahaan mengenai soal pembagian keuntungan, tetapi tidak mengenai tujuan organisasi itu sendiri. Situasinya agak berbeda apabila diperbandingkan dengan organisasi formal sitem persekolahan. Kata-kata “untuk mendidik anak-anak” merupakan pernyataan kabur yang kurang berarti, kecuali kalau tujuan pendidikan tersebut lebih dispesifikasikan.
Menspesifikasikan tujuan pendidikan mengundang permasalahan nilai-nilai, seperti tentang tanggung jawab masing-masing antara sekolah dengan rumah tangga, atau tentang makna dari suatu “pendidikan yang baik”. Apakah sekolah itu harus menekankan upayanya pada pengembangan intelektual, sosial, ataukah emosional anak-anak? Apakah sekolah itu mempunyai kewajiban yang berbeda terhadap anak-anak yang normal dan anak-anak yang berkelainan? Apakah latihan mengemudi, pendidikan jasmani, pelajaran ekonomidan industri rumah tangga bisa dilakukan atau tidak sebagai fungsi sekolah? Dan masih banyak lagi pertanyaan lainnya yang berhubungan dengan tujuan organisasi persekolahan. Masing-masing pertanyaan berharga dimaksud dapat menjadi sangat berbeda dan bahkan bertentangan di dalam memandang serta mensikapinya, baik di kalangan orang dalam maupun luar sistem persekolahan
Asumsi kedua yang menyatakan adanya kesamaan pendapat mengenai batasan peranan para pemegang posisi pendidikan, juga tampil sebagai sesuatu yang patut diragukan. Memang buku-buku teks berbicara banyak dan tegas tentang peranan guru dan administrator pendidikan, seolah-olah semua orang menyetujuinya, dan banyak praktisi pendidikan berasumsi demikian. Pada kenyataannya mereka yang bekerja bersama-sama dalam dunia pendidikan, seringkali tidak memiliki pandangan atau pendapat yang sama mengenai hak dan kewajiban yang terkait dengan posisinya masing-masing.
Haruskah para guru diharapkan menghadiri pertemuan pertemuan regular organisasi profesi mereka? Apakah pekerjaan guru juga termasuk melakukan bimbingan dan konseling? Apakah kewajiban guru terhadap anak cerdas atau anak dungu? Apakah tugas guru dalam dalam masalah-masalah kedisiplinan anak? Haruskah guru-guru diharapkan ikut serta pada program-program latihan dalam jabatan? Apakah para guru mempunyai hak untuk mendapatkan pembelaan dari atasannya apabila mendapatkan protes atau pengaduan dari orang tua murid? Dalam hal-hal tadi, dan masih banyak lagi yang lainnya yang berhubungan dengan peranan guru, mungkin sekali ada ketidaksamaan pendapat diantara para guru dengan kepala sekolah dan bahkan antara kalangan para guru sendiri. Dan dalam hal ini diperkirakan akan muncul adanya konflik peranan intern.
Yang dimaksud dengan konflik peranan intern, ialah konflik harapan dari pihak lainnya yang dihadapkan pada para pemegang satu posisi tertentu. Para guru, dihadapkan dengan harapan yang saling berbeda dan bertentangan dari kepala sekolahnya, penilik, petugas konseling, administrator pendidikan, orang tua murid dan bahkan dari muridnya sendiri. Para kepala sekolah dihadapkan dengan konflik harapan dari Penilik Kepala, dan juga para stafnya sendiri di dalam penanganan beberapa hal, misalnya tentang supervisi pengajaran di kelas, penindakan kasus-kasus kedisiplinan, dan sebagainya. Para administrator dikonfrontasikan dengan konfik harapan dari para stafnya. Misalnya, beberapa guru mengharapkan kepala sekolahnya supaya membawa setiap masalah sekolah ke dalam rapat dewan guru, sedangkan sebagian lainnya tidak mengharapkan membuka semua permasalahan di forum rapat dewan guru. Sebagai tambahan seringkali para orang tua dan guru mempunyai harapan yang kontradiksi mengenai apa-apa yang mestinya dilakukan kepala sekolah, misalnya di dalam penanganan masalah kedisiplinan siswa, besarnya penerimaan murid baru, pelulusan siswa, dan sebagainya. Dalam hubungan ini, Penilik Kepala termasuk posisi yang kerapkali dihadapkan pada konflik peranan intern. Sumber utama dari lahirnya konflik harapan tersebut, kiranya terletak pada adanya pandangan yang berbeda dari Penilik Kepala, para kepala sekolah juga acapkali harus menghadapi harapan-harapan yang kontradiktif, yaitu dari para guru, Penilik, orang tua murid, dan terlebih sulit lagi apabila datangnya dari Badan Pertimbangan Sekolah.
Untuk diingat, memandang sekolah sebagai suatu organisasi formal, dari kacamata sosiologis mengisyaratkan adanya rintangan organisasi yang besar untuk dapat berfungsi secara efektif. Sebagai terlihat dalam bahasan tadi, telah ditandaskan adanya dua faktor penyebab, yaitu : kurangnya kata kesepakatan mengenai tujuan organisasi sekolah itu sendiri, dan kurangnya kesepakatan tentang batasan peranan dari masing-masina pemegang posisi kependidikan.

B. Kegiatan Kelas Sebagai Suatu Sistem Sosial
Berdasarkan pandanganya mengenai fungsi proses belajar di kelas terhadap masyarakat, Parsons dalam bahasannya, menampilkan suatu analisis teoritis yang provokatif tentang kelas sebagai suatu system sosial. Analisis Coleman tentang struktur kompetisi besrta pengaruhnya terhadap prestasi belajar, secara nyata mempunyai implikasi untuk mengisolasikan kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi “hasil belajar” suatu kelas. Analisis tersebut, ditambah lagi dengan analisis para ahli sosiologi lainnya seperti Gordon dan Bpookover, menyarankan pentingnya tinjauan sosiologis didalam mengkaji struktur dan fungsi ruangan kelas sebagai suatu sistem sosial.
Pada tingkat sekarang ini, penelaahan sosiologis dan sosio-psikologis mengenai ruang kelas sebagai suatu sistem. Sudah tak diragukan lagi nilai guna dan kontribusinya. Dalam hubungan ini, kontribusi empirisutama dari para sosiolog selama ini, yaitu didalam menelaah struktur sosiometrik di kelas, dan memilihkan sumber-sumber tekanan dan ketegangan yang dihadapi guru-guru di kelas. Telaah sosiometrik mengungkapkan bahwa ruang kelas, di dalamnya terdapat anak-anak ‘idola’ dan ‘penyendiri’ mengenai para guru, hasil penelitian menunjukkan, bahwa kerap kali guru-guru tidak mengetahui hubungan-hubungan antar pribadi dikalangan murid-muridnya dikelas. Mereka tidak menunjukkan kepekaan yang tinggi mengenai bagaimana sesungguhnya para muridnya mereaksi antara satu dengan yang lainnya, dan mereka seringkali membiarkan bias pribadinya dalam menghadapi para siswanya ketimbang menggunakan assesmen yang tepat melalui sosiometri.
Mengenai sumber-sumber potensial yang menyebabkan ketegangan kejiwaan guru-guru pengajar di kelas, salah satunya, karena benturan antara struktur otoritas sekolah dengan sttus professional guru-guru itu sendiri. Dalam hubungannya ini, kepala sekolah sebagai pemegang otoritas / kekuasaan di sekolah sudah tentu perlu mengawasi, mengkoordinasikan, dan memedukan semua kegiatan yang berlangsung disekolah, termasuk juga terhadap sajian pelajaran yang diberikan staf pengajar (supaya sesuai dengan kurikulum dan terpenuhi batasan bahan yang harus terselsaikan dalam satu semester atau satu tahun), untuk itu, para guru dituntut untuk bekerja secara bertanggung jawab (sesuain dengan tugasnya sebagi hamba kurikulum), dan kalau tudak, kepala sekolah bisa dan menindaknya dengan pemberian dengan sanksi-sanksi tertentu. Otoritas kepala sekolah yang demikian itu, bagaimanapun juga, sedikit banyak berbenturan dengan karakteristik lain dari organisasi persekolahan selaku hamba yang mempekerjakan tenaga tenaga professional.
Sumber ketegangan lainnya bertumbuh dari adanya perbedaan norma antara yang dianut guru-guru dengan norma yang dianut para siswa didalam hubungannya dengan perilaku siswa. Menurut Gordon, sesuai dengan hasil telaahannya di sekolah, adanya kerangka acuaan yang berbeda antara murid dan guru, memang terjadi pada kebanyakan ruang kelas. Hasil telaahannya menunjukkan, para guru mengharapkan para murid berprestasi sebaik mungkin sesuai dengan potensi yang dimiliki, namun sementar itu, para siswa tidak sebegitu risau dengan apa yang menjadi harapan pengajarnya tadi. Para siswa lebih berorientasi pada struktur informal dan nilai-nilai dikalangan mereka sendiri ketimbang secara bersemangat mengikuti kemauan para guru. Gordon juga menunjukkan, bahwa para siswa, sesungguhnya memiliki nilai dan sikap ‘asli’ yang dibawa dari lingkungan, dan itu mempunyai pengaruh besar terhadap pngaruh peranan mereka disekolah; kalau tak ada kesejalanan dengan nilai-nilai dan harapan guru, akibatnya sangat jelas, yaitu para guru bisa ‘tersiksa’ didalam proses transaksi pengajaran dengan para siswanya.
Kontribusi lainnya dari tinjauan sosiologi (mengenai tingkah laku kelas) juga datang dari hasil penelitian Lippit beserta teman-temanya di Universitas Michigan. Dari hasil telaah mereka tentang anak-anak penyendiri dikalangan teman-temannya dikelas, ditunjukkan , betapa besar pengaruh kekuatan kelompok teman sekelas terhadap anak-anak terisolasi dimaksud. Rintangan utama untuk menyembuhkan kemenyendiriannya tersebut bukanlah tereletak didalam anak itu sendiri, tetapi malah didalam konteks kelas itu sendiri. Untuk itu, sangat dituntut untuk mengeksploitasi ‘bagaimana adanya’ kehidupan kelas sebagai suatu system social.
Patut ditambahkan, analisis sosiologi, secara tandas juga mengungkapkan betapa eratnya kaitan antara tingkah laku dan sikap-sikap seseorang dengan latar belakang kelompok atau aspirasi-aspirasi acuan dimaksud merupakan ‘tempat berlabuh’ yang harus diperhitungkan didalam upaya pembinaan tingkah laku siswa. Konsekuensi pentingnya dari hasil telaah tadi, yaitu agar supaya para pengajar bisa efektif didalam mendidik siswa-siswanya mungkin sekali membendung kekuatan-kekuatan kelompok yang bisa mengacaukan arah pembinaan anak didiknya, dan berupaya mengubah nilai-nilai dan norma-norma ‘kurang sehat’ dikalangan klik-klik para siswa itu sendiri

C. Lingkungan Eksternal Persekolahan
Suatu sistem persekolahan tidak berada dalam suatu dunia hampa (dunia vakum ). Ia berada dan berfungsi, sebagaimana tergantung pada lingkungan eksternalnya. Sudut pandang sosiologis yang demikian itu, mempunyai banyak implikasi terhadap penganalisisan sistem persekolahan.
Salah satu implikasinya ialah, dengan adanya perubahan-perubahan demografis di dalam sistem sosial yang lebih besar ( masyarakat ), secara material akan mempengaruhi komposisi kesiswaan pada suatu sistem persekolahan , dan karenanya mungkin sekali menuntun adanya modifikasi-modifikasi kurikulum.
Derasnya arus urbanisasi dari desa ke kota membawa pengaruh penting terhadap jumlah mereka yang membutuhkan persekolahan sehingga hal ini menyebabkan sekolah-sekolah di desa menjadi sepi murid sedangkan di sisi lain sekolah-sekolah di kota bisa tidak muat menampung arus peminat sekolah. Hal ini mengungkapkan betapa pentingnya suatu pendekatan tersendiri di dalam perencanaan persekolahan, baik untuk wilayah pedesaan maupun untuk wilayah perkotaan dan hal ini masih jarang di perhatikan oleh dunia pendidikan.
Aspek ke dua dari lingkungan eksternal persekolahan ialah berkaitan dengan struktur kelas sosial di masyarakat. Kebanyakan aspek-aspek dalam penunaian fungsi persekolahan di pengaruhi oleh fenomena kelas sosial. Hasil penelitian sangat mendukung pernyataan bahwa pelaksanaan penilaian beserta kriteria yang di gunakan di dalam evaluasi hasil belajar siswa nampaknya ada hubungan dengan posisi kelas sosial siswa dan guru itu sendiri. Selain itu mobilitas aspirasi para siswa, angka putus sekolah, partisipasi siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler, tingkah laku berpacaran siswa dan pola persahabatan di kalangan siswa juga di pengaruhi oleh karakteristik sosial ekonomis dari keluarga atau orang tua siswa.
Aspek ketiga yang mempunyai implikasi penting terhadap persekolahan ialah struktur kekuasaan di masyarakat. Pengelolaan program pendidikan di sekolah-sekolah membutuhkan topangan dana yang tidak sedikit dan hal tersebut mempengaruhi mutu program dan hasil pendidikan. Pemerintah daerah dan pemerintah pusat di sini memiliki peranan yang penting bagi kelangsungan pendidikan dengan memberikan banyak subsidi.
Kontribusi keempat dari sosiologi untuk memahami lingkungan eksternal persekolahan ialah penganalisaan mengenai rantai penghubung antara sekolah dengan masyarakat. Penelitian sosiologis telah menunjukkan pengaruh dari tingkah laku para anggota Badan Pertimbangan Sekolah dan motivasinya untuk menduduki jabatan tersebut terhadap penampilan dan kepuasan kerja para penilik Kepala. Pengaruh faktor-faktor lain, seperti agama, pekerjaan, dan penghasilan terhadap para anggota badan Pertimbangan Sekolah juga ikut diteliti. Begitu pula halnya dengan tekanan dari anggota badan Pertimbangan Sekolah terhadap para administrator pendidikan. Kesimpulan di sini bahwa serba sulit bagi perkembangan sekolah, biarpun seringkali diabaikan, dengan adanya variabel tingkah laku kelompok kecil orang-orang awam dalam badan Pertimbangan Sekolah. Hasil penelitian tersebut, akhirnya mengilhami banyak perubahan penting, antara lain berupa upaya peningkatan mutu anggota badan Pertimbangan Sekolah yang diusahakan oleh badan Pertimbangan Sekolah tingkat nasional.
Kontribusi kelima yaitu bertolak dari telaahan terhadap koflik antara peranan dimana para tenaga kependidikan di hadapkan kepada benturan kepentingan dari posisi yang di pegangnya dalam sistem persekolahan dengan posisinya di dalam sistem sosial lain. Getzels dan Guba menemukan, bahwa banyak harapan-harapan yang terkait dengan posisi guru, dalam kenyataannya berbenturan ( konflik ) dengan harapan-harapan posisi lain yang di pegangnya di luar sistem persekolahan. Misalnya di Amerika Serikat, posisi penilik Kepala seringkali dihadapkan pada konflik antar peranan. Kita tahu, sementara seseorang pemegang posisi selaku penilik Kepala, di masyarakat ia juga berposisi sebagai teman dari sahabat-sahabatnya, menjadi anggota kelompok keagamaan atau kelompok-kelompok lainnya, menjadi kepala keluarga atau anggota keluarga dan sebagainya. Kesemuanya posisi-posisi di luar selaku penilik Kepala tersebut, belum tentu sejalan dengan harapan-harapan atau kepentingannya dengan tuntutan tugas yang di tanganinya selaku penilik Kepala.
Salah seorang penilik Kepala yang beragama Katolik mengatakan bahwa ia selalu menghadapi situasi seperti berikut, kadang-kadang situasi sangat mengharaukan, saya ingin memelihara hubungan baik dengan pihak gereja dan hampir semua badan Pertimbangan Sekolah yang saya bina, serta para politisi setempat termasuk sejamaat dengan saya. Dari situ misalnya, salah satu kelompok Katolik menginginkan supaya anak-anaknya dibiarkan pulang lebih awal dari sekolah sebab mereka ada upacara khusus dan anak-anak tersebut di harapkan dapat menghadirinya. Lalu mesti apa yang saya lakukan?. Apakah saya selaku pejabat memberikan mereka izin pulang ataukah menyetop mereka untuk tidak mendahului pulang dan saya tidak bisa melakukannya jika hal tersebut saya lakukan maka saya harus menanggung “neraka” sebagai bayarannya.
Bagi para Penilik Kepala, yang sungguh sangat berat dirasakan ialah konflik peranan yang muncul dari harapan-harapan teman karibnya. Posisinya selaku teman akrab membuat ia serba sulit menghadapi harapan teman-temannya yang tidak sejalan dengan tuntutan tugasnya selaku Penilik Kepala. Ada 35 % Penilik Kepala melaporkan pengalamannya dalam konflik semacam itu. Belum lagi termasuk yang acuh dan menolak untuk melaporkan pengalaman serupa.
Menurut pengalaman penilik kepala, lazimnya mereka diminta untuk memberikan petimbangan khusus, perlakuan khusus atau konsepsi khusus terhadap anak teman-teman karibnya itu. Apa yang diminta oleh teman-teman karibnya itu dapat bermacam-macam, mulai dari soal pemberian nilai oleh para guru, peluang mendapatkan fasilitas sekolah, kemudian masuk atau pindah sekolah dan lain sebagainya.
Situasi konflik antara peremam selaku penilik kepala dengan peranan selaku orang tua, juga termasuk banyak dilontarkan. Ada 48% penilik kepala mengungkapkan jenis konflik semacam ini. Para penilik kepala yang mengalaminya, melaporkan macam-macam variasi yang menunjukkan adanya konflik peranan yang dimaksud. Sebagai misalnya anak-anaknya mengharapkan sesuatu, padahal pihak di pihak lain dihadapkan pada harapan tertentu yang tidak sejalan dengan harapan anak-anaknya.

Sebanyak 18% penilik kepala juga menyebutkan adanya konflik antar peranan yang dikarenakan ketaksejalanan harapan antara tuntutan posisi selaku penilik kepala dengan posisi di organisaso kemasyarakata setempat, dimana penilik kepala ikut serta, biasanya kepada penilik dimintakan bantuannya untuk mendayakan potensi /fasilitas persekolahan untuk kepentingan organisasi kemasyarakatan dimaksud. Padahal selaku staf profesional persekolahan ia diminta melindungi sekolah dari investasi semacam itu. Agar kegiatan ekstra kurikuler berkembang maka penilik dihrapkan mampu meningkatkan usaha penghimpunan dana dan itu digunakan untuk membeli alat-alat yang mendukung kegiatan ekstra kurikuler tersebut. Tetapi dipihak lain ada yang keberatan, sebab aka mengganggu kegiatan kelas dan aktivitas-aktivitas sekolah yang telah direncanakan. Tentunya jadi sulit untuk memutuskan, lebih-lebih kalau menghadapi kelompok yang mempunyai kekuatan suara dalam percaturan politik di masyarakat.
Penemuan-penemuan itu jelas menyokong suatu proporsi bahwa konflik antar peranan diantara posisi sistem persekolahan dengan lingkungan eksternal merupakan sumber potensial utama lahirnya ketegangan praktisi pendidikan termasuk juga bagi para guru.
Sebagai akhir bahasan ini kiranya perlu ditandaskan bahwa : Dengan tinjauan dan analisis sosiologis, para prlktisi pendidikan bisa secara lenih realistis dan peka mengkaji kekuatan-kekuatan majemukyang ada dan berlangsung dalam kontekspenyelenggaraan pendidikan. Dengan sokongan penglihatan dan konsep-konsep sosilogis para praktisi pendidikan dapat lebih jeli menghitung factor-faktor organisasi, budaya, personal di lingkungan kerjanya masing-masing.














BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan, maka terdapat beberapa kesimpulan yang dapat di tarik, antara lain:
1. Sekolah sebagai suatu sistem, menurut sudut tinjauan sosiologi, juga memiliki banyak karakteristik umum. Pertama, sistem persekolahan, sebagaimana organisasi-organisasi bisnis dan rumah sakit. Kedua, dalam organisasi persekolahan terdapat suatu arus jaringan kerja dari sejumlah posisi yang saling terkait (seperti guru, supervisor, dan administrator) di dalam rangka mencapai tujuan organisasi.
2. Analisis sosiologi, secara tandas juga mengungkapkan betapa eratnya kaitan antara tingkah laku dan sikap-sikap seseorang dengan latar belakang kelompok atau aspirasi-aspirasi acuan dimaksud merupakan ‘tempat berlabuh’ yang harus diperhitungkan didalam upaya pembinaan tingkah laku siswa. Konsekuensi pentingnya dari hasil telaah tadi, yaitu agar supaya para pengajar bisa efektif didalam mendidik siswa-siswanya.
3. Dengan tinjauan dan analisis sosiologis, para prlktisi pendidikan bisa secara lenih realistis dan peka mengkaji kekuatan-kekuatan majemukyang ada dan berlangsung dalam kontekspenyelenggaraan pendidikan. Dengan sokongan penglihatan dan konsep-konsep sosilogis para praktisi pendidikan dapat lebih jeli menghitung factor-faktor organisasi, budaya, personal di lingkungan kerjanya masing-masing.
B. Saran
Terdapat beberapa saran yang disampaikan, antara lain:
1. Para pendidik harus lebih efektif lagi dalam membendung perilaku negatif siswa denngan pembinaan tingkah laku siswa dengan mengubah nilai-nilai yang kurang baik di kalangan siswa sendiri.
2. Para praktisi pendidikan harus lebih jeli dalam memperhitungkan faktor organisasi, budaya dan personal di lingkungan kerja masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, A.1990. Psikologi Sosial. Edisi revisi. Jakarta: Rieneka Cipta.
Aminnatul Widyana Mom of 2 kiddos/ Ahmad Rahman Budiman's wife/ teacher/ blogger

0 Response to "BEBERAPA KONTRIBUSI SOSIOLOGI DALAM PENDIDIKAN"

Post a Comment

Terima kasih sudah singgah di blog amiwidya.com.
Saya persilakan menambahkan komentar untuk melengkapi postingan blog di atas.
Semoga bermanfaat & menginspirasi buat semua...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel